Kamis, 02 Juni 2016

Profil Suku Kajang


https://fhetanblog.files.wordpress.com/2012/06/p4aab1a7621058.jpg


A.    Asal-usul Suku Kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya Tana Toa. Komunitas adat percaya bahwa Ammatoa merupakan wakil dari Bohe Amma atau Tu’re’a’ra’na (Yang Satu atau Tuhan) di dunia. Manusia pertama dalam adat Ammatoa juga diyakini berasal dari Tana Toa. Konon kabarnya, sewaktu beliau masih hidup selalu dilindungi oleh awan apabila berjalan di bawah terik matahari dan beliau selalu terlihat awet muda. Sedangkan sewaktu sepeninggalnya, beliau tidak dikuburkan karena beliau lenyap.[1]
Suku Kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat Kajang dalam (tau kajang) dan masyarakat Kajang luar (tau lembang). Masyarakat Kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat Kajang luar merupakan masyarakat Kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat Kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal yang baru dari luar.[2]
Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.[3]

B.     Mitos pada Suku Kajang
1.   Jika ada orang luar yang masuk ke dalam wilayah suku Kajang, serta tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar maka akan dikenakan doti pada orang tersebut. Doti semacam bacaan yang dapat menimbulkan kematian.
2.   Menurut mitos di sana, burung Kajang adalah cikal bakal manusia yang dikendarai oleh To Manurung sebagai Ammatoa maka dari itulah daerah tersebut disebut dengan “Suku Kajang”
3.   Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini adalah pantang karena hanya orang mati yang berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.[4]

C.    Kepercayaan dan Ritual Suku Kajang
Selain percaya terhadap adat Ammatoa, suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama. Namanya, ajaran Patuntung.  Dalam bahasa Makassar, Patuntung berarti mencari sumber kebenaran.  Berdasarkan ajaran Patuntung, jika manusia ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup, yaitu pertama, menghormati Turiek Arakhna (Turi Arakna) yaitu Tuhan. Kedua, masyarakat Kajang juga harus menghormati tanah yang diberikan Tuhan. Dan yang ketiga yaitu menghormati nenek moyang.  Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama Patuntung.  Mereka percaya, Turiek Arakhna adalah Tuhan Yang Maha Kekal, Mengetahui, Perkasa dan Maha Kuasa. Mereka menyakini, Turiek Arakhna menurunkan perintah kepada orang pertama.
Dalam ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek moyang atau roh para leluhur. Setiap tahun mereka selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur.  Mereka menyebutnya, ritual “Bersih Kubur”. Di kalangan masyarakat suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting. Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan roh leluhur.  Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan.  Bahkan meskipun telah tinggal di luar Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.
Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah.  Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang.  Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi bagian terpenting. Dalam ritual, kemenyan menjadi simbol bahwa restu dari leluhur selaui menyertai kehidupan masyarakat Kajang.  Sementara doa menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur.  Ketika ritual Bersih Kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang. Sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur.  Sebagai penutup acara, mereka juga melaksanakan acara makan bersama di rumah ketua adat. Acara makan bersama dilaksanakan pada malam hari.  Bagi mereka, makan bersama menjadi tanda bahwa seluruh rangkaian ritual telah usai dilaksanakan.  Tidak hanya itu, makan bersama juga menjadi simbol bahwa hingga kini, masyarakat Kajang tetap melaksanakan pesan leluhur.
Turun temurun, masyarakat Suku Kajang di Tana Toa tetap menjalankan ajaran Patuntuung.  Aturan adat Ammatoa juga selalu mengikat setiap aktifitas kehidupan mereka.  Konon, ajaran dan aturan itulah yang membuat mereka selalu hidup sederhana.  Kesederhanaan menjadi wujud kebersamaan, dan kebersamaan itulah yang membuat suku Kajang selalu hidup rukun dan berdampingan.[5]

D.    Upacara Adat dan Upacara Kematian pada Suku Kajang
a.       Upacara Adat
Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang  ini dipimpin langsung oleh Ammatoa. Di dalam upacara Rumatang ini mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatoa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama.
Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang harus dipersiapkan untuk sesaji. Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari. Hal itu merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan, sebelum memulai upacara puncak, warga suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama.
Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu, yaitu nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo".
Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan. Setelah makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju ke desa mereka. Padi itu mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu, lalu mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senang dari hasil panen yang berlimpah.[6]
b.      Upacara Kematian
Upacara pemakaman di daearah Kajang pada umumnya, sama dengan upacara pemakaman umat Islam lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dan disholati. Tapi, pada saat ingin dikuburkan ada tingkatan di dalam pemakaman itu, yakni Pertama, jika Ammatoa yang meninggal, maka kedalamannya sampai setinggi orang yang menggali kubur tersebut. Kedua, hanya orang tertentu yang diperbolehkan untuk melakukannya. Ketiga, di atas pemakamannya, diberikan semacam rumah-rumah yang dimana atapnya, terbuat dari daun rumbiah.
Selain itu, terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat disakralkan jika ada yang meninggal, yaitu jika yang meninggal adalah kepala suku, maka kedalaman pemakamannya setinggi leher orang dewasa. Jika yang meninggal adalah kepala desa atau yang mempunyai jabatan yang sederajat, kedalaman pemakamannya adalah sampai dada orang dewasa, dan apabila yang meninggal hanya masyarakat biasa, kedalaman pemakamannya hanya setinggi pusar orang dewasa.[7]

E.     Nilai-nilai Tradisi pada Rumah di Masyarakat Suku Kajang
Rumah tradisional Ammatoa Kajang berbentuk rumah panggung sama dengan rumah tradisional Sulawesi Selatan pada umumnya. Berdasarkan bentuk bangunannya, rumah tradisional suku Kajang terbagi dalam 3 tingkat, yaitu Pertama, bagian atas disebut Para, yang merupakan tempat yang dianggap suci. Biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan. Kedua, bagian tengah disebut Kale Balla, sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal. Ketiga, bagian bawah disebut Siring, sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng), merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa.[8]

F.     Interaksi Masyarakat Suku Kajang
Di daerah Butta Toa, Kajang salah satu wilayah yang ada di Bulukumba, yang memiliki sistem pemerintahan di bawah pimpinan Ammatoa yang dikenal dengan nama Patuntung. Tentang nama Patuntung ini banyak penafsiran yang berbeda-beda. Baik di daerah Kajang itu sendiri maupun oleh orang-orang yang ada di luar wilayah Kajang. Sehingga ada yang menafsirkan bahwa patuntung itu adalah agama sehingga terkenalah agama Patuntung di Kajang. Hal-hal seperti ini banyak pula dikenal di daerah daerah lain di Sulawesi Selatan, dan disebutnya agama baru atau sautu kepercayaan lain di luar Islam ataupun Nasrani. mereka sering melakukan upacara Attowana di tempat-tempat yang dianggapnya keramatmisalnya pada batu, pohon, dan pinggir kali. Attowana atau memberikan sesajian berupa makanan pada yang dianggap berkuasa atau TuriE Ara’na, dengan tujuan agar mereka mendapatkan keselamatan.
Dengan tradisi-tradisi masyarakat yang seperti itulah ditambah pula dengan cara-cara berpakaiannya yang berbeda dengan masyarakat umum yang ada disekitarnya, yakni berpakaian serba hitam. Hal inilah yang kemudian pada gilirannya memunculkan sangkaan bahwa mereka itu tidak memeluk agama Islam. Kalau kita kembali mengikuti sejarah perkembangan Butta Toa, maka orang-orang yang bermukim di dalamnya sudah mengenal dan menganut agama Islam sebagaimana pada masyarakat Kajang lainnya. Cuma pada mereka itu ajaran Islam secara murni tidak dipraktekkan, karena tradisi masyarakat masih lebih besar pengaruhnya. Sehingga kaburlah ajaran-ajaran Islam tersebut. Lagi pula ajaran Islam yang datang di daerah itu sudah melalui beberapa aliran.
Dalam perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan, maka daerah Kajang yang salah satunya sudah mengenal Islam. Dato Tiro salah seorang penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan pernah singgah di Kajang, kemudian melanjutkan perjalanannya ke TiroTetapi dalam perkembangan agama Islam di Kajang setelah Dato Tiro sudah menetap di Tiro, salah seorang Ammatoa mengirim seorang utusan yang dianggap cerdas bernama Janggo to Jarre. Ia berangkat ke Luwu untuk mempelajari agama Islam. Akan tetapi Ammatoa merasa bahwa ajaran ajaran Islam yang dibawa dari luwu itu belumlah sempurna, maka sekali lagi Ammatoa mengutus seseorang bernama Towasara Daeng Mallipa. Adapun daerah tujuannya adalah Bontoala, daerah Kerajaan Gowa. Setelah mempelajari ajaran-ajaran Islam di Gowa maka pulanglah dengan membawa ajaran berupa :
            1.      Kalimat Syahadat,
            2.      Upacara sunat atau bersunat yang lazim disebut pengislaman,
3.      Katimboangtau atau upacara perkawinan secara Islam,
4.      Bilangbangngi dan baca doang rasulung atau upacara upacara kematian dan pengubran secara Islami.[9]



[1] Uchy, dari http://uchy-red.blogspot.co.id/2011/11/kajang-ammatoa-desa-tanatoa-kecamatan.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016 pukul 13.00 WIB.
[2] Syaiful Afdhal, dari http://syaifulafdhal.blogspot.co.id/2013/09/selaras-dengan-alam-sebagai-kosmologi.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 14.00 WIB.
[3] Ummatang DF, dari https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 14.30 WIB.
[4] Dhiyah Alfiyyah Ansar, dari http://dhiyaalfiyyahansar.blogspot.co.id/2013/04/suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 15.00 WIB.
[5] Hana Pramudiana, dari http://hanageoedu.blogspot.co.id/2011/12/suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 15.30 WIB.
[6] Aswin Anwar, dari http://konsepblackbook.blogspot.co.id/2012/11/kebudayaan-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 16.00 WIB.
[7] Irma Triyani Yahya, dari http://irmatriyani.blogspot.co.id/2015/06/laporan-penelitian-kajang-ammatoa_16.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 17.00 WIB.
[8] Tangan-tangan Rajin, dari http://rioblay25.blogspot.co.id/2015/06/rumah-adat-suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 17.30 WIB.
[9] Fajar Erid, dari http://fajarerick.blogspot.co.id/2013/03/suku-kajang-ammatoa_10.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 20.00 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;