Kamis, 02 Juni 2016

Profil Suku Laut

  













Peta Kepulauan Riau
http://www.penghubungkepri.org/index.php/id/

Suku Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa sejarah mencatat bahwa suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan. yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang). Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.[1]
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas wilayah 251.810,71 km2 dengan 96 persennya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan kecil telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Ibukota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjungpinang. Provinsi ini terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat pada tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar. (Diakses dari http://labbaawwabi.it.student.pens.ac.id/page/tentang.html, tanggal 14 Juni 2016.)
A.    Asal-Usul Suku Laut
Suku Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan, yakni: masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka Johor dan Riau Lingga, Belanda (1911-1942), Jepang (1942-1945), dan Republik Indonesia (1949) sampai sekarang. Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.
Suku Laut berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut. Di Indonesia, penyebutan suku bangsa ini biasa dikenal sebagai Orang Laut (sea people) atau Suku Sampan (boat tribe) yang juga terdapat pada wilayah pesisir lainnya. Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa macam sebutan, seperti sea nomadssea folksea hunters and gatherers, dan dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay. Meskipun demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai Orang Laut.[2]

      B.     Keunikan Suku Laut
Suku Laut memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari suku-suku yang lain, salah satunya adalah membuat rumah diatas air. Bentuk rumah yang mereka buat adalah rumah yang sejenis rumah panggung yang terbuat dari tiang kayu yang langsung diambil dari hutan. Suku Laut memiliki keyakinan bahwa tidak sembarangan untuk mengambil kayu atau menebang pohon dari hutan yang nantinya aka dijadikan tiang dan bagian rumah lainnya. Mereka hanya akan mengambil kayu atau pohon dari dalam hutan secukupnya saja yang sekiranya tidak akan merusak hutan kelak.[3]

C.    Kepercayaan Suku Laut           
Kepercayaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang dibawa oleh para muballig Islam melalui jalur laut dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.[4]

D.    Interaksi Suku Laut dengan Agama Lain
Sulit untuk mengadabkan orang-orang suku Laut, orang-orang suku Laut memandang bahwa daratan adalah tempat yang tak masuk akal bagi mereka. Mereka menganggap daratan hanyalah tempat untuk menguburkan jenazah mereka, sehingga daratan bagi mereka adalah kotor. Melihat fenomena terseut pemerintah saat itu mencari akal agar masyarakat suku Laut pun mau berinteraksi dengan daratan. Disebarnyalah beberapa orang untuk menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Laut, menjelaskan bahwa tinggal di Laut sekalipun belum tentu bersih dan malah mudah terkena najis, sehingga tidak bisa menjalankan ibadah solat. Selain tiu dalam himbauannya juga orang-orang suku Laut akan diberi bantuan oleh pemerintah berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor, dan lain sebagainya.
Suku laut yang kita lihat berada pada wilayah pesisir Kepulauan Riau, bersinggungan dengan daerah Melayu, membuat suku Laut sendiri dipengaruhi kuat oleh bahasa Melayu. Bahkan suku Laut sendiri lebih fasih menggunakan bahasa Melayu mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh interaksi masyarakat suku Laut yang lebih sering berinteraksi dengan orang-orang Melayu. Hidup berpindah-pindah juga menjadi salah satu faktor penggunaan bahasa Indonesia yang tidak fasih.
Orang-orang suku Laut menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya. Namun, hal ini ditentang oleh orang Melayu pada umumnya (yang tinggal di darat). Orang Melayu sendiri membuat beberapa catatan apa saja yang harus dilakukan oleh orang Melayu, maka tersebutlah beberapa syarat, seperti: sunat (bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak minuman beralkohol, menaati tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua kalimat syahadat, kawin-cerai secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara Islam, membangun masjid di lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan, memberi zakat, dan bila mampu melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut tidak diyakini dan dijalani, maka mereka bukanlah benar-benar orang Melayu.
Berdasarkan penolakan tersebut suku Laut pada akhirnya berada pada bagian paling luar dari keturunan asli Melayu. Merasa diri sebagai orang Melayu, suku Laut mengusung pola patrilineal atau garis keturunan ayah sebagai pola kekerabatan. Mereka hidup di lautan, mereka lahir, kawin, dan mati di laut
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat suku Laut adalah nelayan. Hampir semua orang di suku Laut melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laut, baik nelayan, memancing, dan lainnya. Bahkan kebiasaan warga suku Laut pada malam hari adalah memancing.Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana (getek) dan tombak. Jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut (sekadarnya).
            Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam menangkap ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku Laut, ini menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di suku Laut menjadi hal yang pertama kali mesti dibenhi, baru kemudian berhitung dan lainnya.[5]




[1] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 20:35 WIB.
[2] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau  pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:00 WIB.
[3] Diakses dari http://www.riauheritage.org/2011/12/adat-dalam-tradisi-melayu-di-riau.html pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:02 WIB.
[4] Diakses dari http://www.riauheritage.org/2011/12/adat-dalam-tradisi-melayu-di-riau.html pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 16:00 WIB.
[5] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau  pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:40 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;