Jumat, 17 Juni 2016 0 komentar

PPT Suku Nias

0 komentar

PPT Suku Samin

0 komentar

PPT Suku Tengger

0 komentar

PPT Suku Trunyan

0 komentar

PPT Suku Sakai

0 komentar

PPT Suku Batak

0 komentar

PPT Suku Dayak

Kamis, 16 Juni 2016 0 komentar

Lokal Wisdom Aceh

0 komentar

Lokal Wisdom Jawa Timur

0 komentar

Lokal Wisdom Jakarta

0 komentar

Lokal Wisdom Padang

0 komentar

Lokal Wisdom Jawa Barat

0 komentar

Lokal Wisdom Banten

Rabu, 15 Juni 2016 0 komentar

Lokal Wisdom NTB

LOKAL WISDOM NUSA TENGGARA BARAT

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Nilai UTS Matakuliah Agama-Agama Lokal


Dosen : Siti Nadroh, MA.
Disusun oleh kelas A semester IV :
Agus Berani (11140321000035)
Syamsul Arifin (11140321000034)
  

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016




See more:
http://agamalokal2016pa4akel1.blogspot.co.id/2016/06/lokal-wisdom-jawa-tengah.html
http://agamalokal2016pa4akel1.blogspot.co.id/2016/06/lokal-wisdom-banten.html
http://agamalokal2016pa4akel1.blogspot.co.id/2016_05_01_archive.html
http://agamalokal2016pa4akel1.blogspot.co.id/2016_06_01_archive.html
0 komentar

Lokal Wisdom Jawa Tengah

LOKAL WISDOM JAWA TENGAH

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Nilai UTS Matakuliah Agama-Agama Lokal


Dosen : Siti Nadroh, MA.
Disusun oleh kelas A semester IV :
Muhammad Wahyu (11140321000010)
Adiba Zahrotul Wildah (11140321000025)
Wahyu (11140321000040)



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016


Kamis, 02 Juni 2016 0 komentar

Profil Suku Kajang


https://fhetanblog.files.wordpress.com/2012/06/p4aab1a7621058.jpg


A.    Asal-usul Suku Kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya Tana Toa. Komunitas adat percaya bahwa Ammatoa merupakan wakil dari Bohe Amma atau Tu’re’a’ra’na (Yang Satu atau Tuhan) di dunia. Manusia pertama dalam adat Ammatoa juga diyakini berasal dari Tana Toa. Konon kabarnya, sewaktu beliau masih hidup selalu dilindungi oleh awan apabila berjalan di bawah terik matahari dan beliau selalu terlihat awet muda. Sedangkan sewaktu sepeninggalnya, beliau tidak dikuburkan karena beliau lenyap.[1]
Suku Kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat Kajang dalam (tau kajang) dan masyarakat Kajang luar (tau lembang). Masyarakat Kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat Kajang luar merupakan masyarakat Kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat Kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal yang baru dari luar.[2]
Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.[3]

B.     Mitos pada Suku Kajang
1.   Jika ada orang luar yang masuk ke dalam wilayah suku Kajang, serta tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar maka akan dikenakan doti pada orang tersebut. Doti semacam bacaan yang dapat menimbulkan kematian.
2.   Menurut mitos di sana, burung Kajang adalah cikal bakal manusia yang dikendarai oleh To Manurung sebagai Ammatoa maka dari itulah daerah tersebut disebut dengan “Suku Kajang”
3.   Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini adalah pantang karena hanya orang mati yang berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.[4]

C.    Kepercayaan dan Ritual Suku Kajang
Selain percaya terhadap adat Ammatoa, suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama. Namanya, ajaran Patuntung.  Dalam bahasa Makassar, Patuntung berarti mencari sumber kebenaran.  Berdasarkan ajaran Patuntung, jika manusia ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup, yaitu pertama, menghormati Turiek Arakhna (Turi Arakna) yaitu Tuhan. Kedua, masyarakat Kajang juga harus menghormati tanah yang diberikan Tuhan. Dan yang ketiga yaitu menghormati nenek moyang.  Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama Patuntung.  Mereka percaya, Turiek Arakhna adalah Tuhan Yang Maha Kekal, Mengetahui, Perkasa dan Maha Kuasa. Mereka menyakini, Turiek Arakhna menurunkan perintah kepada orang pertama.
Dalam ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek moyang atau roh para leluhur. Setiap tahun mereka selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur.  Mereka menyebutnya, ritual “Bersih Kubur”. Di kalangan masyarakat suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting. Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan roh leluhur.  Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan.  Bahkan meskipun telah tinggal di luar Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.
Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah.  Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang.  Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi bagian terpenting. Dalam ritual, kemenyan menjadi simbol bahwa restu dari leluhur selaui menyertai kehidupan masyarakat Kajang.  Sementara doa menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur.  Ketika ritual Bersih Kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang. Sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur.  Sebagai penutup acara, mereka juga melaksanakan acara makan bersama di rumah ketua adat. Acara makan bersama dilaksanakan pada malam hari.  Bagi mereka, makan bersama menjadi tanda bahwa seluruh rangkaian ritual telah usai dilaksanakan.  Tidak hanya itu, makan bersama juga menjadi simbol bahwa hingga kini, masyarakat Kajang tetap melaksanakan pesan leluhur.
Turun temurun, masyarakat Suku Kajang di Tana Toa tetap menjalankan ajaran Patuntuung.  Aturan adat Ammatoa juga selalu mengikat setiap aktifitas kehidupan mereka.  Konon, ajaran dan aturan itulah yang membuat mereka selalu hidup sederhana.  Kesederhanaan menjadi wujud kebersamaan, dan kebersamaan itulah yang membuat suku Kajang selalu hidup rukun dan berdampingan.[5]

D.    Upacara Adat dan Upacara Kematian pada Suku Kajang
a.       Upacara Adat
Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang  ini dipimpin langsung oleh Ammatoa. Di dalam upacara Rumatang ini mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatoa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama.
Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang harus dipersiapkan untuk sesaji. Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari. Hal itu merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan, sebelum memulai upacara puncak, warga suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama.
Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu, yaitu nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo".
Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan. Setelah makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju ke desa mereka. Padi itu mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu, lalu mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senang dari hasil panen yang berlimpah.[6]
b.      Upacara Kematian
Upacara pemakaman di daearah Kajang pada umumnya, sama dengan upacara pemakaman umat Islam lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dan disholati. Tapi, pada saat ingin dikuburkan ada tingkatan di dalam pemakaman itu, yakni Pertama, jika Ammatoa yang meninggal, maka kedalamannya sampai setinggi orang yang menggali kubur tersebut. Kedua, hanya orang tertentu yang diperbolehkan untuk melakukannya. Ketiga, di atas pemakamannya, diberikan semacam rumah-rumah yang dimana atapnya, terbuat dari daun rumbiah.
Selain itu, terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat disakralkan jika ada yang meninggal, yaitu jika yang meninggal adalah kepala suku, maka kedalaman pemakamannya setinggi leher orang dewasa. Jika yang meninggal adalah kepala desa atau yang mempunyai jabatan yang sederajat, kedalaman pemakamannya adalah sampai dada orang dewasa, dan apabila yang meninggal hanya masyarakat biasa, kedalaman pemakamannya hanya setinggi pusar orang dewasa.[7]

E.     Nilai-nilai Tradisi pada Rumah di Masyarakat Suku Kajang
Rumah tradisional Ammatoa Kajang berbentuk rumah panggung sama dengan rumah tradisional Sulawesi Selatan pada umumnya. Berdasarkan bentuk bangunannya, rumah tradisional suku Kajang terbagi dalam 3 tingkat, yaitu Pertama, bagian atas disebut Para, yang merupakan tempat yang dianggap suci. Biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan. Kedua, bagian tengah disebut Kale Balla, sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal. Ketiga, bagian bawah disebut Siring, sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng), merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa.[8]

F.     Interaksi Masyarakat Suku Kajang
Di daerah Butta Toa, Kajang salah satu wilayah yang ada di Bulukumba, yang memiliki sistem pemerintahan di bawah pimpinan Ammatoa yang dikenal dengan nama Patuntung. Tentang nama Patuntung ini banyak penafsiran yang berbeda-beda. Baik di daerah Kajang itu sendiri maupun oleh orang-orang yang ada di luar wilayah Kajang. Sehingga ada yang menafsirkan bahwa patuntung itu adalah agama sehingga terkenalah agama Patuntung di Kajang. Hal-hal seperti ini banyak pula dikenal di daerah daerah lain di Sulawesi Selatan, dan disebutnya agama baru atau sautu kepercayaan lain di luar Islam ataupun Nasrani. mereka sering melakukan upacara Attowana di tempat-tempat yang dianggapnya keramatmisalnya pada batu, pohon, dan pinggir kali. Attowana atau memberikan sesajian berupa makanan pada yang dianggap berkuasa atau TuriE Ara’na, dengan tujuan agar mereka mendapatkan keselamatan.
Dengan tradisi-tradisi masyarakat yang seperti itulah ditambah pula dengan cara-cara berpakaiannya yang berbeda dengan masyarakat umum yang ada disekitarnya, yakni berpakaian serba hitam. Hal inilah yang kemudian pada gilirannya memunculkan sangkaan bahwa mereka itu tidak memeluk agama Islam. Kalau kita kembali mengikuti sejarah perkembangan Butta Toa, maka orang-orang yang bermukim di dalamnya sudah mengenal dan menganut agama Islam sebagaimana pada masyarakat Kajang lainnya. Cuma pada mereka itu ajaran Islam secara murni tidak dipraktekkan, karena tradisi masyarakat masih lebih besar pengaruhnya. Sehingga kaburlah ajaran-ajaran Islam tersebut. Lagi pula ajaran Islam yang datang di daerah itu sudah melalui beberapa aliran.
Dalam perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan, maka daerah Kajang yang salah satunya sudah mengenal Islam. Dato Tiro salah seorang penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan pernah singgah di Kajang, kemudian melanjutkan perjalanannya ke TiroTetapi dalam perkembangan agama Islam di Kajang setelah Dato Tiro sudah menetap di Tiro, salah seorang Ammatoa mengirim seorang utusan yang dianggap cerdas bernama Janggo to Jarre. Ia berangkat ke Luwu untuk mempelajari agama Islam. Akan tetapi Ammatoa merasa bahwa ajaran ajaran Islam yang dibawa dari luwu itu belumlah sempurna, maka sekali lagi Ammatoa mengutus seseorang bernama Towasara Daeng Mallipa. Adapun daerah tujuannya adalah Bontoala, daerah Kerajaan Gowa. Setelah mempelajari ajaran-ajaran Islam di Gowa maka pulanglah dengan membawa ajaran berupa :
            1.      Kalimat Syahadat,
            2.      Upacara sunat atau bersunat yang lazim disebut pengislaman,
3.      Katimboangtau atau upacara perkawinan secara Islam,
4.      Bilangbangngi dan baca doang rasulung atau upacara upacara kematian dan pengubran secara Islami.[9]



[1] Uchy, dari http://uchy-red.blogspot.co.id/2011/11/kajang-ammatoa-desa-tanatoa-kecamatan.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016 pukul 13.00 WIB.
[2] Syaiful Afdhal, dari http://syaifulafdhal.blogspot.co.id/2013/09/selaras-dengan-alam-sebagai-kosmologi.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 14.00 WIB.
[3] Ummatang DF, dari https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 14.30 WIB.
[4] Dhiyah Alfiyyah Ansar, dari http://dhiyaalfiyyahansar.blogspot.co.id/2013/04/suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 15.00 WIB.
[5] Hana Pramudiana, dari http://hanageoedu.blogspot.co.id/2011/12/suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 15.30 WIB.
[6] Aswin Anwar, dari http://konsepblackbook.blogspot.co.id/2012/11/kebudayaan-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 16.00 WIB.
[7] Irma Triyani Yahya, dari http://irmatriyani.blogspot.co.id/2015/06/laporan-penelitian-kajang-ammatoa_16.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 17.00 WIB.
[8] Tangan-tangan Rajin, dari http://rioblay25.blogspot.co.id/2015/06/rumah-adat-suku-kajang.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 17.30 WIB.
[9] Fajar Erid, dari http://fajarerick.blogspot.co.id/2013/03/suku-kajang-ammatoa_10.html, diakses pada tanggal 31-Mei-2016, pukul 20.00 WIB.
0 komentar

Profil Suku Laut

  













Peta Kepulauan Riau
http://www.penghubungkepri.org/index.php/id/

Suku Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa sejarah mencatat bahwa suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan. yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang). Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.[1]
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas wilayah 251.810,71 km2 dengan 96 persennya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan kecil telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Ibukota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjungpinang. Provinsi ini terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat pada tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar. (Diakses dari http://labbaawwabi.it.student.pens.ac.id/page/tentang.html, tanggal 14 Juni 2016.)
A.    Asal-Usul Suku Laut
Suku Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan, yakni: masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka Johor dan Riau Lingga, Belanda (1911-1942), Jepang (1942-1945), dan Republik Indonesia (1949) sampai sekarang. Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.
Suku Laut berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut. Di Indonesia, penyebutan suku bangsa ini biasa dikenal sebagai Orang Laut (sea people) atau Suku Sampan (boat tribe) yang juga terdapat pada wilayah pesisir lainnya. Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa macam sebutan, seperti sea nomadssea folksea hunters and gatherers, dan dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay. Meskipun demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai Orang Laut.[2]

      B.     Keunikan Suku Laut
Suku Laut memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari suku-suku yang lain, salah satunya adalah membuat rumah diatas air. Bentuk rumah yang mereka buat adalah rumah yang sejenis rumah panggung yang terbuat dari tiang kayu yang langsung diambil dari hutan. Suku Laut memiliki keyakinan bahwa tidak sembarangan untuk mengambil kayu atau menebang pohon dari hutan yang nantinya aka dijadikan tiang dan bagian rumah lainnya. Mereka hanya akan mengambil kayu atau pohon dari dalam hutan secukupnya saja yang sekiranya tidak akan merusak hutan kelak.[3]

C.    Kepercayaan Suku Laut           
Kepercayaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang dibawa oleh para muballig Islam melalui jalur laut dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.[4]

D.    Interaksi Suku Laut dengan Agama Lain
Sulit untuk mengadabkan orang-orang suku Laut, orang-orang suku Laut memandang bahwa daratan adalah tempat yang tak masuk akal bagi mereka. Mereka menganggap daratan hanyalah tempat untuk menguburkan jenazah mereka, sehingga daratan bagi mereka adalah kotor. Melihat fenomena terseut pemerintah saat itu mencari akal agar masyarakat suku Laut pun mau berinteraksi dengan daratan. Disebarnyalah beberapa orang untuk menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Laut, menjelaskan bahwa tinggal di Laut sekalipun belum tentu bersih dan malah mudah terkena najis, sehingga tidak bisa menjalankan ibadah solat. Selain tiu dalam himbauannya juga orang-orang suku Laut akan diberi bantuan oleh pemerintah berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor, dan lain sebagainya.
Suku laut yang kita lihat berada pada wilayah pesisir Kepulauan Riau, bersinggungan dengan daerah Melayu, membuat suku Laut sendiri dipengaruhi kuat oleh bahasa Melayu. Bahkan suku Laut sendiri lebih fasih menggunakan bahasa Melayu mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh interaksi masyarakat suku Laut yang lebih sering berinteraksi dengan orang-orang Melayu. Hidup berpindah-pindah juga menjadi salah satu faktor penggunaan bahasa Indonesia yang tidak fasih.
Orang-orang suku Laut menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya. Namun, hal ini ditentang oleh orang Melayu pada umumnya (yang tinggal di darat). Orang Melayu sendiri membuat beberapa catatan apa saja yang harus dilakukan oleh orang Melayu, maka tersebutlah beberapa syarat, seperti: sunat (bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak minuman beralkohol, menaati tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua kalimat syahadat, kawin-cerai secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara Islam, membangun masjid di lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan, memberi zakat, dan bila mampu melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut tidak diyakini dan dijalani, maka mereka bukanlah benar-benar orang Melayu.
Berdasarkan penolakan tersebut suku Laut pada akhirnya berada pada bagian paling luar dari keturunan asli Melayu. Merasa diri sebagai orang Melayu, suku Laut mengusung pola patrilineal atau garis keturunan ayah sebagai pola kekerabatan. Mereka hidup di lautan, mereka lahir, kawin, dan mati di laut
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat suku Laut adalah nelayan. Hampir semua orang di suku Laut melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laut, baik nelayan, memancing, dan lainnya. Bahkan kebiasaan warga suku Laut pada malam hari adalah memancing.Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana (getek) dan tombak. Jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut (sekadarnya).
            Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam menangkap ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku Laut, ini menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di suku Laut menjadi hal yang pertama kali mesti dibenhi, baru kemudian berhitung dan lainnya.[5]




[1] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 20:35 WIB.
[2] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau  pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:00 WIB.
[3] Diakses dari http://www.riauheritage.org/2011/12/adat-dalam-tradisi-melayu-di-riau.html pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:02 WIB.
[4] Diakses dari http://www.riauheritage.org/2011/12/adat-dalam-tradisi-melayu-di-riau.html pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 16:00 WIB.
[5] Diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau  pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 15:40 WIB.
0 komentar

Profil Suku Korowai

Suku kanibal di Indonesia 

Peta Papua (Suku Korowai)
https://id.wikipedia.org/wiki/Papua

A.    Asal-usul Suku Korowai
Pada tahun 1970-an, dimana seorang misionaris Kristen datang ke Papua dan mulai hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris ini pula lah pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa mereka, yaitu bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Pada tahun 1979, misionaris Belanda tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota suku Korowai itu sendiri..[1]
Di selatan timur Papua, ada sebuah suku dengan nama suku Korowai atau suku Kolufu, sedikit hal yang dapat diketahui tentang mereka sebelum tahun 1970-an. Mereka tinggal dibagian selatan dari bagian barat New Guinea dan dikatakan bahwa mereka dahulunya adalah manusia yang memakan daging manusia atau kanibal. Kulit mereka ditandai dengan bekas luka, hidung mereka ditusuk dengan tulang runcing, yaitu tulang burung yang dibengkokkan ke atas dari lubang hidung mereka. Ada sekitar 3000 orang Korowai yang masih tinggal di daerah-daerah.[2]
Suku Korowai adalah suku yang tinggal di tanah Indonesia. Secara geografis, masyarakat Korowai adalah penduduk Indonesia. Namun jangan tanyakan hal tersebut oleh masyarakat Korowai, berada di perkampungan masyarakat Korowai seakan berada di tempat lain yang tidak terpetakan. Menuju ke tempat ini pun harus ditempuh dengan perjalanan udara, menelusuri sungai, berjalan kaki menembus belantara serta melewati rawa dan lumpur.[3]

B.     Keunikan yang didapat dari suku Korowai
1Tak Memakai Koteka 
Sebagai manusia normal atau kita yang hidup diperadaban modern mungkin akan menganggap hal ini sedikit gila dan aneh. Tapi inilah yang istimewa dari suku Korowai. Mereka berbeda dengan suku pedalaman di tanah Papua lainnya yang menggunakan koteka untuk menutupi kelamin terutama para kaum lelaki.
Suku Korowai ini tidak menggunakan koteka dalam kesehariannya, melainkan mereka memasukan secara paksa penis kedalam kantong jakar dan pada ujungnya mereka balut ketat dengan sejenis daun.
2. Rumah Pohon
Rumah pohon kedua suku bisa dikatakan tempat tinggal yang paling luar biasa yang pernah berdiri di Tanah Air ini. Bagaimana tidak, rumah ini berdiri menjulang kokoh dengan ketinggan sekitar 40-50 meter dari atas tanah.[4]

C.    Kepercayaan dan Ritual Suku Korowai
Belum diketahui pasti apa sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Korowai, namun mereka menerapkan sistem kanibalisme secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Penerapan sistem ini  tidak  dilakukan  pada sembarangan orang. Namun, sistem ini diterapkan pada orang-orang yang melanggar peraturan yang ada di suku Korowai tersebut. Salah satunya jika ada salah seorang warga diketahui sebagai tukang sihir atau khuakhuameski suku Korowai menerapkan sistem kanibalisme, namun ritual ini sudah semakin berkurang pada masyarakat Korowai yang mulai mengenal dunia luar.[5]

D.    Kebudayaan Suku Korowai
a)      Pakaian Adat
Pakaian Korowai adalah salah satu suku di Irian yang tidak memakai koteka. Kaum lelaki suku ini memasuk-paksa-kan penis mereka ke dalam kantong jakar (scrotum) dan pada ujungnya mereka balut ketat dengan sejenis daun. Sementara kaum perempuan hanya memakai rok pendek terbuat dari daun sagu.
b)      Rumah Adat
Keunikan suku Korowai terdapat pada tempat tinggal mereka berupa rumah pohon, yang dapat mencapai ketinggian 8-12 meter diatas permukaan tanah atau bahkan mencapai ketinggian 45 meter bila berada di area hulu sungai, dan dilengkapi dengan sebatang pohon untuk membantu mereka naik ke atas rumah (tangga). Setiap rumah pohon didesain menjadi dua hingga tiga  ruangan, sedikitnya dapat ditempati oleh seorang pria dan wanita dewasa, dan dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan api. Ada tiga alasan suku Korowai memilih hidup di rumah pohon. Alasan pertama, mereka merasa dengan hidup di rumah pohon maka mereka akan lebih aman dari serangan musuh. Kedua, dengan tinggal di rumah pohon, suku Korowai akan lebih mudah mengawasi dan mendapat hewan buruan, seperti babi hutan yang berkeliaran di bawah rumah pohon mereka sehingga dengan mudah dapat dibidik dengan panah. Ketiga, mereka menganggap bahwa rumah pohon memiliki nilai tersendiri karena sudah merupakan budaya yang diwariskan secara turun temurun sehingga mereka merasa nyaman tinggal disana.[6]
Diatas ketinggian hingga mencapai 40-50 meter, masyarakat Korowai tinggal lazimnya orang yang tinggal di rumah pada umumnya. Uniknya, lokasi rumah yang berada diketinggian pohon tersebut, tidak menjadi masalah bagi para penghuninya termasuk orang tua (kakek, nenek) anak kecil, ibu yang menggendong bayi hingga wanita hamil sekalipun. Rumah pohon yang ditinggali masyarakat Korowai terbuat dari kayu yang diambil dari sekitar hutan. Cara membangun rumah ini pun masih menggunakan metode tradisional dengan menggunakan kapak yang terbuat dari batu. Rumah pohon bagi masyarakat Korowai adalah hal yang sangat krusial dalam kehidupan. Rumah Pohon dibuat untuk menghindari serangan binatang buas serta nyamuk penyebar malaria. Selain itu, rumah pohon juga sangat berguna untuk mengontrol hewan perburuan seperti babi hutan. Selain alasan tersebut, alasan adat mungkin menjadi alasan kuat mengapa suku Korowai masih mempertahankan rumah pohon hingga saat ini. Hal tersebut mungkin yang membuat suku Korowai merasa nyaman untuk tinggal dirumah pohon tersebut karena mengandung nilai adat istiadat yang tinggi dan dijaga secara turun temurun.[7]
Meskipun rumah mereka di atas pohon, hidup mereka lebih banyak dihabiskan di bawah. Rumah pohon hanya digunakan untuk berlindung dan tempat untuk tidur dikala malam. Pada pagi hari, anak-anak dibopong untuk dibawa turun dan diajarkan cara mengolah sagu dan berburu. Anjing peliharaan mereka juga dibopong turun untuk menemani mereka berburu. Suku Korowai hidup dengan menggantungkan pada alam. Untuk mendapatkan karbohidrat untuk nasi, mereka mengolah sagu, menanam umbi-umbian, juga menanam pisang. Untuk memenuhi kebutuhan gizi, mereka menangkap ikan di sungai dengan bubu dan tombak, juga berburu hewan dengan panah.
Menjelang senja, keluarga suku Korowai satu-satu naik ke rumah pohon untuk istirahat dan merencanakan perburuan di hari esok.[8]

E.     Kehidupan Suku Korowai
Untuk membangun sebuah rumah, dipilih pohon besar kokoh sebagai tiang utama. Lantainya terbuat dari cabang. Kulit pohon sagu digunakan untuk membuat dinding. Atapnya dari daun hutan. Untuk merangkai rumah, dipilih tali rotan yang kuat. Untuk menjangkau rumah, disusun tangga panjang menjulai ke bawah. Sebelum menempati rumah itu, mereka akan melakukan ritual malam mengusir roh jahat.
Setiap keluarga memiliki kebun sagu. Mereka juga mengumpulkan sayuran hijau, dan buah-buahan yang semuanya tumbuh di hutan. Babi dan anjing adalah satu-satunya hewan peliharaan. Babi memiliki nilai sosial dan hanya dibunuh saat ritual dan diacara-acara khusus. Anjing digunakan untuk berburu. Untuk memancing, mereka menggunakan busur dan panah. Di masa lalu, buaya juga ditangkap untuk dimakan.[9]


[1] Yulis Nurmayanti, dari http://yulisnurmayanti.blogspot.co.id/2014/02/suku-korowai-irian-jaya.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 14.00 WIB.
[2] ProtoMalayan, dari http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/08/suku-korowai.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 14.30 WIB.
[3] Yulis Nurmayanti, dari http://yulisnurmayanti.blogspot.co.id/2014/02/suku-korowai-irian-jaya.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 15.00 WIB.
[4] http://www.feed.id/article/5-hal-menarik-suku-kanibal-korowai-dan-kombai-yang-perlu-kamu-ketahui-141127d.html , diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 16.00 WIB.
[5] Eleven Social One, dari http://esosmager.blogspot.co.id/2013/04/suku-korowai.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 16.30 WIB.
[6] Eleven Social One, dari http://esosmager.blogspot.co.id/2013/04/suku-korowai.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 16.30 WIB.
[7] http://www.papua.us/2013/04/suku-korowai-masyarakat-tradisional.html, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 20.00 WIB.
[8] Sigit Wahyu, dari http://kidnesia.com/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Papua/Seni-Budaya/Rumah-Pohon-Suku-Korowai, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, puku 21.00 WIB.
[9] http://www.jeratpapua.org/2015/03/29/mengenal-suku-korowai-di-selatan-papua/, diakses pada tanggal 01-Juni-2016, pukul 21.30 WIB.
 
;