AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Agama-Agama Lokal
Dosen
: Siti Nadroh, MA.
Disusun
oleh :
Kelompok
6
Muhammad
Firman Hidayat (11150321000057)
Teti
Eliza (11140321000031)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Agama Tradisional
Orang Tengger”.
Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama
Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk melatih dan meningkatkan kemampuan
mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.
AGAMA
TRADISIONAL ORANG TENGGER
A.
Pendahuluan
Puji syukur kita panjatkan khadirat
Allah yang Maha Kuasa atas berkah kesehatan dan rahmat-Nya penyusunan makalah
ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah Agama-Agama Lokal yang
membahas tentang Agama Tradisional Orang Tengger yang membahas tentang
asal-usul orang Tengger, pandangan hidup, kepercayaan, upacara keagamaan
masyarakat Tengger (kelahiran, kematian, perkawinan), dan Interaksi Masyarakat
Tengger dengan Agama-Agama Lain.
Kami tahu mungkin sangat amat banyak
kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu kami sangat amat menerima kritik
dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis
selanjutnya. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
Ciputat, 16 Maret 2016
Kelompok 6
A.
Peta
Letak Geografis Orang Tengger
Suku Tengger adalah sebuah suku yang
berada di sekitar Gunung Bromo. Penduduknya bertempat tinggal di sekitar daerah
kabupaten Pasuruan, kabupaten Probolinggo, dan kabupaten Malang. Suku yang
paling dekat dengan suku Tengger adalah suku Jawa akan tetapi ada perbedaan
dari keduanya, terutama pada bentuk kebudayaannya.[1] Kurniasudar
menyatakan bahwa:
Luas daerah Tengger kurang lebih 40 KM
dari utara ke selatan dan 20-30 KM dari timur ke barat, di atas ketinggian
antara 1000M-3675M. Kaldera Tengger adalah lautan pasir terluas, terletak pada
ketinggian 2300M, dengan panjang 5-10 KM. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian
2392M dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan
ketinggan 3676.[2]
B.
ASAL
USUL ORANG TENGGER
Masyarakat Tengger adalah masyarakat
yang berada di wilayah pegunungan Tengger, yakni pegunungan yang berada di
sebelah utara gunung Semeru dan masuk dalam daerah Kabupaten Probolinggo,
Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Masyarakat Tengger atau lazim disebut “wong
Tengger”, memiliki adat istiadat dan faham keagamaan atau kepercayaan
tersendiri.
Sebagian dari masyarakat Tengger memeluk
agama Islam dan sebagian lainnya masih tetap menganut paham keagamaan lama yang
disebut dengan agama Budha Tengger. Meskipun mereka mengatakan dirinya agama
Buddha, tetapi mereka tidak mengenal tentang ajaran agama Buddha yang
sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pembawa ajaran Buddha yakni, Shidra
Gautama, konsep Triatna, Dasar Sila, dan sebagainya. Kepercayaan mereka
terlihat pada unsur animisme, yakni adanya kekuatan roh-roh dengan segala
upacara dan persajiannya. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger, nama Tengger
diambil dari nama dua orang suami istri yang merupakan cikal bakal penduduk
Tengger menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan gunung Semeru, istri
bangsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang diberi
nama Roro Anteng dan Nyai Dadap Putih. Tidak jauh dari tempat tinggal itu,
tinggal seorang pendeta dengan istrinya, istri pendeta itu melahirkan seorang
anak laki-laki yang bagus rupanya dan sehat badannya (seger), karena itu diberi
nama Joko Seger. Kemudian, Roro Anteng menjadi gadis rupawan dan Joko Seger
menjadi pemuda tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian
membuka kampung baru. Kampung itu diberi nama Tengger, dari nama Roro Anteng
untuk awalan Teng, dan dari nama Joko Seger yang diambil untuk akhiran Ger.[3]
Perkawinan yang telah lama dibina, belum
juga Roro Anteng dan Joko Seger dikaruniai anak. Dengan penuh rasa berharap
suami istri itu selalu bersemedi dan memohon kepada Dewata agar di karuniai
keturunan. Setelah sekian lama, akhirnya Dewata mengabulkan permohonan Roro
Anteng dan Joko Seger dan mereka dikaruniai 25 orang anak.
Dari ke-25 anak itu, anak bungsu yang
diberi nama Dewa Kusuma. Anak ini setelah dewasa dikorbankan kepada Bharata
Dharma di kawah gunung Bromo. Sebelum dikorbankan, Dewa Kusuma berpesan agar
setiap tahun pada tanggal dan bulan pada saat dirinya dikorbankan, saudara,
anak cucu mereka diharapkan mengirimkan korban dan sesaji dikemudian hari[4].
Itulah pesan Dewa Kusuma sebelum ia
dikorbankan, dan pesan itu dilaksanakan turun-temurun hingga kini, dari sinilah
asal muasal peringatan Hari Kasada. Dengan demikian, masyarakat Tengger
beranggapan 25 orang anak Roro Anteng dan Joko Seger itu merupakan nenek moyang
mereka. Nama dari 25 orang anak Roro Anteng dan Joko Seger juga dikaitkan
dengan tempat-tempat kramat dimana mereka memberi sesajian dan penyembahan
roh-roh yang di yakini bisa memberikan keselamatan hidup. Berikut adalah 25
tempat kramat tersebut :
1. Tumenggung
Kliwang, dihubungkan dengan gunung Renggit.
2. Sinta
Wiji, dihubungkan dengan gunung Mindangan.
3. Ki
Rawit Klinting, dihubungkan dengan gunung Kuning.
4. Ki
Rawit, dihubungkan dengan sumber air Semanik.
5. Jiting
Jenah, dihubungkan dengan gunung Jinahan.
6. Penganten
Ical, dihubungkan dengan gunung Pranten.
7. Prabu
Sewah, dihubungkan dengan gunung pranten.
8. Prabu
Sewah, dihubungkan dengan gunung Lingga.
9. Cokro
Pranoto, dihubungkan dengan gunungGendera.
10. Tumenggang
Klinter, dihubungkan dengan gunung penanjakan.
11. Tunggul
Wulung, dihubungkan dengan gunung Cemoro Lawang.
12. Raden
Bagus Waris, dihubungkan dengan gunung Batu Walang.
13. Kaki
Dukun, dihubungkan dengan gunung Watu Wangkuk.
14. Ki
Pranoto, dihubungkan dengan gunung Poten.
15. Kaki
Perniti, dihubungkan dengan gunung Bajangan.
16. Tunggul
Amentul, dihubungkan dengan gunung Batok.
17. Raden
Masigit, dihubungkan dengan gunung Masigit.
18. Puspo
Ki Gentong, dihubungkan dengan gunung Widoderan.
19. Kaki
Teku/Ni Teku, dihubungkan dengan gunung Poten.
20. Ki
Dadung Awuk, dihubungkan dengan gunung Wonongkaro.
21. Ki
Kedamiling, dihubungkan dengan gunung Pusung Lingkir.
22. Ki
Sindri Jaya, dihubungkan dengan gunung Kedung Babat.
23. Raden
Sapu Jagat, dihubungkan dengan gunung Pudak Lembu.
24. Ki
Jenggot, dihubungkan dengan gunung Rujak.
25. Demang
Diningrat, dihubungkan dengan gunung Semeru.
26. Dewa
Kusuma, dihubungkan dengan gunung Bromo.
I.
Profil Orang Tengger
Orang
Tengger merupakan masyarakat pegunungan, tanpa kerajaan, kasta, atau
embel-embel lainnya yang berperan besar seperti dalam budaya Hindu-Bali. Mereka
disebut Tengger karena mereka tinggal di sekitar pegunungan Tengger. Budaya
orang Tengger bertahan bukan karena pengayoman kerajaan atau perwujudan dalam
seni, tetapi karena menyatu ke dalam kehidupan dan jati diri penduduknya.
Mereka hidup di sekitar orang Jawa yang telah mengalami banyak perubahan sejak
abad ke-19. Setidaknya di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat
beberapa data arkeologis yang dapat mengungkapkan kesejarahan orang Tengger.
Dalam prasasti yang berangka tahun 929 Masehi (Prasasti Tengger) dan juga
prasasti logam yang berangka tahun 1402 Masehi, disebutkan bahwa di wilayah
pegunungan Tengger itu ada sebuah desa bernama Walandhit atau Wancalit yang
dihuni oleh orang-orang yang menghabiskan hidupnya melayani dan mengabdi kepada
Dewa, mereka dikenal sebagai Hulun Hyang. [5]
Raffles dalam bukunya “The History
of Java” ia seolah mengagumi orang-orang Tengger yang hidup dalam keteraturan
dan damai. Mereka juga digambarkan sebagai para pekerja yang jujur dan jauh
dari hal-hal aneh yang merusak moral seperti di perkotaan.
II.
Mitologi Orang Tengger
Dalam masyarakat suku
Tengger, banyak mitologi yang berkembang tentang bagaimana asal-mula adanya
suku tengger. Berikut beberapa mitos tentang awal mulanya suku tengger atau
penamaan tengger itu sendiri.
a.
Gunung Bromo sebuah gunung wisata
yang terletak di Taman Nasional. Bromo Tengger Semeru. Pada
jaman dahulu ada seorang wanita cantik titisan para dewa bernama Roro Anteng.
Pada jamannya banyak pria yang menyukai wanita ini. Akan tetapi hatinya jatuh
kepada Joko Seger. Dari sinilah sejarah Gunung Bromo di mulai. Sebelum menikah
dengan Joko Seger tersebut, ada seorang penjahat sakti bernama Kyai Bima yang
juga menyukai Roro Anteng. Namun karena Roro Anteng tidak menyukainya, maka ia
pun menolaknya secara halus dengan memberikan syarat, yaitu membuatkannya
lautan diatas gunung hanya dalam waktu satu malam. Legenda Gunung Bromo dan Sejarah Suku Tengger pun berlanjut. Tanpa di
duga Kyai Bima menyanggupinya. Dengan sekuat tenaga ia lautan dengan tempurung,
dan lautan pasir yang saat ini disebut segara wedhi serta sumur raksasa untuk
mengairi lautan pasir yang saat ini disebut kawah gunung
Bromo. Melihat Kyai Bima hampir berhasil, hati Roro Anteng tidaklah
tenang. Maka ia pun langsung beraksi dengan menumbuk padi sekeras mungkin agar
para ayam berkokok yang menandakan pagi menjelang. Dan aksinya tersebut sukses.
Mendengar kokokan ayam dan kicauan burung membuat Kyai Bima menyerah dan
meninggalkan pekerjaannya. Pada akhirnya Roro Anteng kembali melanjutkan
hubungannya dengan Joko Seger. Mereka membuat suatu wilayah dan memimpin
wilayah tersebut yang hingga saat ini disebut dengan nama suku Tengger.[6]
b. Hikayat
Roro Anteng dan Joko Seger
Alkisah,
pada zaman dahulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan
Majapahit. Namanya Roro Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Roro Anteng
mencari tempat hidup yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke
Pegunungan Tengger. Di Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan
perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Roro
Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di
gunung Bromo. Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik
di Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa
Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa
ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap
di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
Joko
Seger tersesat dan bertemu Roro Anteng yang segera mengajaknya ke kediamannya.
Sesampai di kediamannya, Roro Anteng dituduh telah berbuat serong dengan Joko
Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Roro Anteng dan menyatakan hal
itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu. Lamaran diterima. Resi Dadap Putih
mengesahkan pernikahan mereka. Sewindu sudah tak juga dikaruniai anak. Mereka
bertapa 6 tahun dan setiap tahun berganti arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi
semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian
menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik mereka akan
dikaruniai anak, namun anak terakhir harus dikorbankan. Pasangan ini dikarunia
25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat
sedikit. Putra terakhir bernama Kusuma. Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo
mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Suami istri itu
tak rela mengorbankan anak bungsu mereka.[7]
C.
Pandangan
Hidup, Kepercayaan, dan Orang Masyarakat Tengger
Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa
masyarakat Tengger mempercayai roh-roh yang memiliki kekuatan dan membuat
berbagai sesajian untuk dipersembahkan.[8]
Berikut akan dibahas tentang kepercayaan masyarakat Tengger.
a. Animisme
Animisme
(anima = nyawa, roh), ialah suatu kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh
atau makhluk halus yang mengelilinginya di rumah, di ladang, di desa, dan
tempat lainnya. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan
penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup. Di dalam animisme kita
menemukan suatu sistem keagamaan yang berisi rangkaian upacara, tanggapan,
persembahan yang bersifat religius-magis.
Jika
perkembangan kemudian paham animisme ini meyakini adanya “dewa-dewa tertinggi”,
maka hal ini merupakan perkembangan pemikiran tentang penciptaan dunia.
b. Konsep
Tentang Tuhan
Dalam
agama Budha Tengger tidak ditemukan adanya suatu konsep tunggal tentang Tuhan
dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk daerah sekitar Ngadasari,
pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang Hyang
Betoro Wisnu, dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tidak diketahui dengan jelas
bagaimana perbedaan kosep tentang dewa dengan konsep pemikiran tentang Sang
Hyang. Hal ini terlihat pada upacara korban di gunung Bromo pada upacara
Kesodo, dimana sesajian di gunung Bromo yang merupakan persembahan kepada
Betono Promo dan kepada Dewa Kesumo.
Pengaruh
agama Islam nampak pula pada konsep Tuhan masyarakat Tengger, seperti terlihat
pada mantra-mantra dengan diucapkannya lafadz-lafadz Allahu Akbar, Dzatullah
Illulah, nabi, wali dan sebagainya[9].
c. Sembahyang
dan Semedi
Di
samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan, agama Buddha Tengger juga
mengenal adanya tata cara sembahyang yang disebut semedi. Praktek semedi bisa
dilakukan di rumah, sanggar pemujaan dan sebagainya. Semedi tidak ada ketentuan
tentang hukum kewajiban yang mengandung sanksi.
Pelaksanaan
semedi lebih menjurus ke arah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maha Agung,
dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa. Sebelum melakukan semedi harus mandi
keramas terlebih dahulu dengan air air yang sudah diberi mantra, ini dilakukan
sebagai bentuk mensucikan diri. Semedi dilakukan pada pagi hari dengan
menghadap ke Timur dan sore hari dengan menghadap ke Barat, sedangkan semedi
bersama dilakukan di sanggar pemujaan pada bulan purnama tanggal 15 setiap
bulan sekali.
d. Konsep
Alam
Masyarakat
Tengger mempercayai alam lain dibalik kehidupan yang terlihat ini. Para dewata
dalam pandangan mereka bertempat di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang
dianggap suci. Manusia yang baik, jika ia meninggal rohnya akan masuk surga,
sebaliknya jika manusia jahat akan masuk neraka. Bagi roh yang telah disucikan,
roh itu dapat melanjutkan perjalanannya menuju surga.
e. Tujuh
Ajaran Tentang Kehidupan
Kehidupan
masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang teratur dan serasi. Ketaatan
masyarakat terhadap ajaran agamanya dikenal dengan tujuh ajaran kehidupan yang
biasanya dibacakan saat hari raya Kesodo[10].
1) “Hong pukulan maniro sak sampune demerek ing
sasi kasodo maningo in temah” artinya, Yang Maha Kuasa pelindung seluruh
makhluk mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya pada bulan
Kesodo.
2) “Milango ing sarining potro kanggo milar
pajenengan ing manah” artinya, hendaklah manusia berbuat amal kebajikan,
merubah perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih.
3) “Kang adoh pinerekaken, kang parek tinariko
nang aron-aron” artinya, orang yang jauh dari kebaikan supaya di
peringatkan untuk berbuat baik dan diajak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
4) “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang
Sukmo” artinya, kerjakanlah perbuatan yang terpuji supaya selamat jiw dan
raga dan mendapat ridho Tuhan.
5) “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
artinya, hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yang memasuki lubang
sembilan pada manusia.
6) “Ngelingono jiwo premono banimbobo banyu
karahayuan” artinya, hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih (welas
asih) dan berbuat kasih sayang terhadap semua makhluk.
7) “Deniru neediyo nyondro nitis sepisan kerto
rabayu palinggibane titi yang lurab, lurab keyabi dukun sagunge anak putu adoyo
puluh” artinya, bila petunjuk-petunjuk tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan jiwa mantap oleh
seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati akan mendapatkan
ketentraman dan kebahagian jiwa yang disebut sebagai mati sempurna.
Selain ajaran tujuh tentang
kehidupan, masyarakat Tengger memiliki acuan
hidup yang disebut Tujuh Petunjuk Tentang Kasih Sayang. Oleh karena itu
masyarakat Tengger dikenal mempunyai sifat yang halus, penolong, kasih sayang,
dan sikap gotong royong.[11]
f. Peran
Dukun Dalam Masyarakat Tengger
Pada
kehidupan sosial masyarakat Tengger, ada hal yang menarik, yaitu, walaupun masyakat
suku Tengger ini tersebar dan terpisah di empat kawasan administratif
(Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang), orang-orang Tengger satu sama
lain memiliki ikatan emosionalitas yang cukup tinggi. Wilayah administratif
hanya menunjukkan batas wilayah fisik, tetapi ikatan batin antara mereka
terjalin secara historis dan turun temurun yang tidak bisa dibatasi oleh garis
perbatasan. Kuatnya ikatan antar masyarakat di pegunungan Tengger, utamanya
masyarakat yang selama ini mengidentifikasi diri sebagai “masyarakat adat
Tengger”, terutama dipengaruhi oleh kesamaan identitas dan adat istiadat yang
mereka miliki. Artinya, kuatnya masyarakat Tengger dalam memegang nilai-nilai
adat istiadat selama ini memberikan pengaruh positif bagi kuatnya ikatan batin
antar masyarakat dalam komunitas Tengger.
Sistem
sosial masyarakat suku Tengger tidak bisa dilepaskan dari peran dukun. Dukun
merupakan pewaris tradisi Tengger, memegang peranan yang sangat
strategis, sama dengan kedudukan kiai
dalam masyarakat Muslim dan pendeta
dalam masyarakat Kristen serta pastor
dalam Katolik. Di Tengger, pengertian dukun sangat jauh berbeda dengan pengertian dukun pada masyarakat lain.
Seorang dukun
Tengger merupakan tokoh panutan masyarakat yang mempunyai fungsi spiritual, yaitu
memimpin upacara keagamaan atau adat, memimpin upacara perkawinan, kematian dan
berbagai keperluan religius lainnya. Sedangkan fungsi sosialnya, seorang dukun berperanan
sebagai mediator antara urusan warga masyarakat (selain urusan yang berhubungan
dengan pemerintahan). Memang kadang-kadang para dukun juga dimintai tolong oleh warga untuk urusan
pengobatan, namun ini di luar fungsi dan tugas utama seorang dukun Tengger.
fungsi
utama dukun Tengger ini adalah sebagai
pemandu spiritual warga. Masing-masing desa Tengger memiliki satu orang dukun desa. Desa yang memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayah yang luas, dapat memiliki lebih dari
satu dukun (biasanya dua orang dukun) untuk dapat menjangkau umat tersebut.
Untuk dapat menjadi seorang dukun,
syaratnya harus memiliki kemampuan khusus dan disegani masyarakat.[12]
Seorang
dukun (dukun desa) hanya bertanggung
jawab terhadap umat yang ada di desanya. Di setiap desa Tengger, baik yang
berada di Probolinggo maupun Pasuruan, Lumajang maupun Malang, masing-masing
memiliki seorang dukun. Dukun-dukun desa ini dikoordinasi oleh dukun yang
bertindak selaku koordinator wilayah untuk masing-masing distrik Probolinggo,
Pasuruan, Lumajang dan Malang. Pembagian wilayah kekuasaan ini, untuk daerah
timur (disebut Brang
Wetan) yaitu Probolinggo dan Lumajang dikoordinasi
oleh seorang Dukun
Brang Wetan. Demikian pula untuk Brang Kulon (wilayah
Barat) yaitu Pasuruan dan Malang, dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang Kulon.
Dan untuk mengkoordinasi semua dukun, mulai dari Dukun Desa
(dukun desa biasanya hanya disebut dukun saja) hingga Dukun Brang, adalah
seorang Kepala
Dukun. Kepala dukun ini dipilih oleh semua dukun dan sesepuh desa,
termasuk kepala desa. Pemilihan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan, yang
dilakukan secara santai sambil menikmati malam di kawasan gunung Bromo, tanpa
ada pemilihan secara formal. Kepala dukun bertugas mengkoordinasi semua dukun
Tengger yang tersebar di empat wilayah (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan
Malang). Termasuk dalam tugas kepala dukun adalah menyelesaikan konflik yang
ada antar dukun, memfasilitasi pemecahan permasalahan umat Tengger di daerahnya
masing-masing.
Untuk
melaksanakan tugasnya, dukun dibantu oleh pembantunya yang terdiri dari :[13]
Ø Wong
Sepuh : Jabatan Wong Sepuh ditetapkan oleh petinggi berdasarkan kecakapannya
dalam melaksanakan tugas. Ia bertugas membantu menyediakan persyaratan sajian
dan menjadi saksi.
Ø Dandan
: Seorang wanita yang membantu dukun yang bertugas memeriksa sesaji dan
selamatan yang akan dilaksanakan.
Ø Legen
: Membantu dukun yang merupakan pesuruh untuk mempersiapkan aat-alat upacara
dan pembakaran dupa.
D.
Ritus
dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
a. Hari
Raya Karo
Upacara Karo. Perayaan Karo
atau hari raya Karo orang Tengger yang
jatuh
pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan
Lebaran atau Hari Raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia tersebut
orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga,
untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan ini berlangsung
selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu berpuluh-puluh ternak,
kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya.
Bagi keluarga yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih
dilakukan secara patungan.
Bagi orang Tengger, hari raya Karo
adalah hari yang ditunggu-tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu
tersebut merupakan saat yang penuh suka
cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin menebus seluruh
kecapekan dan
kejenuhan kerja seharian penuh di ladang yang telah mereka jalani selama satu
tahun. Seluruh lapisan masyarakat Tengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu,
Kristen, Budha maupun Islam menyatu dalam suka cita perayaan Karo. Hari Raya
Karo akan makin meriah apabila hasil panen orang Tengger bagus.[14]
Asal-mula
diadakannya perayaan Karo, menurut cerita masyarakat Tengger adalah untuk
memperingati meninggalnya dua orang abdi yang setia dalam melaksanakan
tugasnya. Yaitu seseorang bernama Setio Abdi dari Aji Saka, dan seorang lagi
bernama Satuhu Abdi dari Kanjeng Nabi Muhammad.[15]
Tujuan
upacara Karo diadakan ialah memohon selamat untuk penghormatan kepada bapak dan
ibu, karena dengan perantaraan keduanyalah Tuhan telah menyebarkan bibit
manusia.
b. Hari
Raya Kasada
Hari Raya Kasada ini adalah hari
raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16,
bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di
lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang
Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra
bungsu Rara Anteng dan Joko Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban
demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya. Upacara ini merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger
dengan Hyang Widi dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu
dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.[16]
Mereka percaya, jika mereka tidak turut
merayakannya maka kehidupannya tidak akan tentram. Sebaliknya jika mereka
melaksanakan upacara tersebut, maka hidupnya akan selamat dan dimurahkan
rejeki.[17]
Terdapat tiga tempat penting dalam
prosesi perayaan Kasada yakni rumah dukun adat, pura Poten Luhur dan kawah
Gunung Bromo. Upacara Kasada ini dilaksanakan mulai dari tengah malam hingga
dini hari, untuk melaksanakan perayaan ini, dilakukan persiapan sejak pukul
24.00 WIB yang dimulai dengan bergerak dari depan rumah dukun adat dan sampai
di Pura Luhur Poten sekitar pukul 04.00 WIB. Sebelum upacara dilaksanakan dukun
pandita terlebih dahulu melakukan semeninga, yaitu persiapan untuk upacara yang
bertujuan memberitahukan para Dewa bahwa ritual siap dilaksanakan. Ketika sudah
sampai di Pura Luhur Poten, semeninga kembali dilaksanakan. Ritual Kasada
dilaksanakan dengan menempuh perjalanan dari Pura Luhur Poten menuju kawah
Gunung Bromo.[18]
Saat proses perayaan berlangsung, dukun membacakan amanat Raden Kusuma yang
diucapkan pada masa lalu yang berbunyi sebagai berikut :[19]
“Dulurku
sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku
saben wulan Kasada kirimana barang
samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa
sandhang
pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalamdonya, weruh rasane,
apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke
rika ya mesti kinabulna.”
“Saudara-saudaraku
yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada,
kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di
dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti
kukabulkan”.
Ø
Pura Luhur Poten Bromo
Awalnya pura ini merupakan kediaman dari Ida
Sang Hyang Widhi Washa. Sekarang, pura ini di jadikan sebagai tempat beribadah
masyarakat suku Tengger. Pura Luhur Poten menjadi tempat pemujaan Dewa Brohmo. Layaknya
pura-pura lain, Pura Luhur Poten dibangun mengarah ke arah barat dengan tempat
pemujaan (Mandala Utama) menghadap ke arah timur mengikuti arah datangnya
matahari. Pura Luhur Poten berdiri pada tahun 2000, di dalam pura terdapat tiga
wilayah yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda dan pada tiap bagian
wilayah terdapat candi Bentar yang menjadi pintu masuk dari setiap wilayah.[20] Wilayah
di dalam pura diantaranya:
a) Mandala Utama, yaitu tempat dilakukannya pemujaan dan sembahyang
b)
Mandala
Madya, yaitu tempat persiapan dan pengiring upacara persembahyangan.
c)
Mandala
Nista (depan), yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura.
c. Upacara
Unan-Unan
Upacara
Unan-unan adalah upacara yang dilakukan oleh suku Tengger dalam lima tahun
sekali atau sewindu sekali
menurut penanggalan suku Tengger. upacara ini baisa disebut bersih desa untuk
menghindari segala macam gangguan. Selain memohonkan pengampunan para arwah
leluhurnya dalam upacara ini, seluruh umat manusia di seluruh dunia juga
dimohonkan agar diberi keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian abadi. Upacara
Unan-unan dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus
dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna kematian fisiknya. Setiap warga
Tengger wajib melaksanakan upacara ini yang bertujuan agar manusia terbebas
dari penderitaan, dosa, di tunjukkan jalan yang benar, menjadi manusia kuat dan
berwibawa, serta memperoleh kesejahteraan dan kedamaian.
Pengorbanan
dalam bentuk kerbau selalu terjadi dalam upacara Unan-unan. Kepala dari kerbau
tersebut diarak dari
kampung menuju sanggar utama sambil membaca doa-doa dan mantra-mantra agar
seluruh makhluk hidup tidak mengganggu sepanjang ritual ini berlangsung . Bagi
mereka kerbau adalah binatang yang memiliki karakter agung, kuat dan sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ketika acara puncak, hanya masyarakat
Tengger dan tokoh masyarakat saja yang diizinkan memasuki area utama upacara.[21]
d.
Upacara Kapat.
Upacara kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut
tahun saka disebut pujan Kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan
serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
e.
Upacara Kawulu
Upacara jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun
saka.Pujan kawolu sebagai penutupan Megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke
kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari,
bulan dan bintang.
f.
Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan kesembilan (sanga) tahun
saka.
Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan
kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah
kepala desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon kepada sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan
masyarakat Tengger.[22]
g.
Upacara Mayu
Desa
Upacara Mayu Desa yang dilakukan suku Tengger di Desa
Wonokitri, Posari, Pasuruan, Jawa Timur, intinya ada dua, yakni Mayu Banyu dan
Mayu Desa.
Upacara tradisi Mayu Banyu dilakukan untuk
melestarikan sumber air sebagai sumber kehidupan warga suku Tengger di Gunung
Bromo. Sedangkan upacara tradisi Mayu Desa dilakuan agar warga masyarakat serta
desa yang ditinggalinya aman dari sengkala (bencana). Upacara Mayu Banyu dan
Mayu Desa dilakukan lima tahun sekali.pelaksanaannya selalu bertepatan dengan
penutupan hari raya Karo.
Upacara Mayu desa masih tetap lestari di Desa
wonokitri, karena warga tetap setia melaksanakannya, meski biayanya cukup besar
bagi sebagian besar petani disana.Untuk menyelenggarakan upacara ini setiap
kepala keluarga dikenakan biaya sebesar Rp.211.000.-
Upacara Mayu Desa dimulai dari balai desa wonokitri.
Seluruh warga yang dipimpin oleh para Dukun Pandita
melakukan Kirab keliling desa dengan membawa berbagai macam sesaji didalam banten, serta ancak. Sesaji itu kemudian dibawa kepura setempat untuk
dibacakan mantra-mantra. Kurban
biasanya seekor kerbau dan dua ekor kambing. Kepala kerbaunya ditanam ditengah simpang empat jalan
desa.
Sedangkan dua kepala kambing dibuang ke jurang di
perbatasan desa. Berbagai
sesaji yang telah dibacakan mantra di pura, juga dimakan oleh para umat yang
mengikuti upacara tradisi tersebut dan sebagian dibuang ke dasar jurang di
batas desa yang dianggap keramat. Yang menarik selain sesaji, dalam setiap prosesi
upacara juga disajikan tarian tradisional tandak, serta minuman bir.
Upacara tradisi Mayu Desa selain diawali dengan
sembahyang di pura, juga dilakukan upacara di tempat-tempat yang dianggap
keramat bagi suku Tengger yang berada di wonokitri, yakni penampungan air yang
dianggap instalasi vital bagi warga suku Tengger, serta dijurang yang dianggap
keramat.[23]
E. Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
a)
Upacara Kelahiran
Pada
saat ibu hamil 7 bulan dirayakan dengan Upacara Sesayut. Kelahiran disambut dengan upacara untuk memberitahukan
tanah tempat kelahiran.[24]
Setelah
bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut
batur teman disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar. Pada hari
ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat
pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan
kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi
nama, keluarga bayi mengadakan selamatan
jenang abang dan jenang
putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).
Maksud dari upacara ini juga untuk memohon keselamatan.[25]
Upacara kekerik diadakan
setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi dikerik dengan daun
rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai
berbicara. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan
setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas
dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus dilindungi, yaitu diberi mantra
pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).
b) Upacara
Perkawinan
Perkawinan kembali dirayakan dengan
upacara Walagara. Perkawinan
merupakan
sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab perkawinan bukan hanya
menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi perkawinan juga melibatkan
dua keluarga dan masyarakat secara umum. Menurut kepercayaan Masyarakat
Tengger, peristiwa perkawinan juga diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua
belah pihak. Sebelum upacara perkawinan dimulai, didahului dengan acara nelasih
atau ziarah kubur dan memberikan tetamping atau sesaji.
Perkawinan
Masyarakat Tengger umumnya masih berlaku antara kalangan mereka sendiri
(endogami). Bila calon mempelai wanita Tengger akan menikah dengan pria non
Tengger, maka pelaksanaanya harus mengikuti adat Tengger dan menikah dengan
acara agama Hindu. Kalau laki-laki Tengger menikah dengan gadis di luar
masyarakat Tengger (non Tengger), misalnya menikah dengan gadis Islam, maka
perkawinan boleh menurut agama Islam atau sebaliknya. Meskipun ia telah menikah
secara non Tengger, tetapi masih diakui sebagai sedulur (keluarga) dan tetap
dianggap sebagai warga Tengger. Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri
sendiri. Hari perkawinan tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran)
calon mempelai seperti dalam adat perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran
mempelai bila dibagi tiga tidak boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua.
Tahap selanjutnya apabila kedua orang tua telah setuju, maka calon mempelai
laki-laki sendiri yang datang melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran
tidak ada barang peningset seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan
mereka, peningset itu merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum
hari perkawinan, pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon
besan dengan membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya.[26]
Pelaksanaan
perkawinan bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari.
Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai perempuan
duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat sesaji terdiri
dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7 piring nasi
dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan telur,
uang secukupnya. Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan
wali, tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki.
Baik
mempelai laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Ada kalanya
perkawinan terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya :[27]
1. Karena
hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah (neneknya nenek).
§ Dadung
kepuntir. Contoh : A, B dan C masing-masing mempunyai anak laki-laki dan juga
anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah. Tetapi kalau anak
laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak laki-laki B kawin dengan anak
perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan anak perempuan A, maka perkawinan
semacam ini tidak diperbolehkan.
§ Papakan
Wali. Contoh : A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki dan perempuan.
Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan anak laki-laki B kawin
mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan demikian disebut papagan wali dan
tidak diijinkan.
§ Kesandung
watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan ada keluarga dekat
yang meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan.
c) Upacara
Kematian
Upacara
Kematian diselenggarakan secara gotong royong.
Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara
penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain
kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh.[28]
Masyarakat
Tengger tidak mengenal pembakaran mayat seperti di Bali, tetapi melakukan
pembakaran boneka berpakaian yang dilambangkan manusia yang meninggal ditempat
pembakaran setelah mayat dimakamkan. Sesudah dimandikan dengan air yang
dimantrai oleh dukun, mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga
lapis, kemudian diusung dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke
timur dan terlentang. Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan
antara orang yang meninggal dengan keluarganya, dipimpin seorang dukun.
Selanjutnya setelah 44 hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”.
Upacara
ini dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar arwah almarhum
yang masih “Nglambrang” (melayang-layang tak menentu) segera dapat masuk surga.
Pada
upacara entas-entas ini dibuat boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga kenikir
dan janur kuning yang menggambarkan jasad almarhum. Boneka tersebut disebut
petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang dientas. Banyaknya
petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang meninggal.
Dukun
membacakan mantra pendahuluan selama lebih dari satu jam sambil membunyikan
genta kecil. Di depan dukun ada beberapa anak kecil tidak memakai baju,
dikerudungi kain putih. Jenis kelamin dan jumlah anak-anak menurut jenis
kelamin dan jumlah yang dientas. Selama dukun membaca mantra, kira-kira baru
separuhnya, ibu dukun dibantu beberapa lainnya menanak nasi dengan api dari
buah jarak.
Selanjutnya
dukun membakar sedikit ujung rambut anak-anak tadi, lalu menjarumi kain putih
yang dijadikan kerudung. Dukun hanya menirukan gerakan orang menjarum, tetapi
tanpa benang. Setelah selesai, dukun menaruh beras dikepala anak-anak tadi,
kemudian mengambil itik dan ayam putih mulus, dipatuk-patukan pada beras
dikepala anak-anak tadi. Legen memecah buah kelapa dengan parang didepan pintu
rumah. Acara terakhir dibacakan mantra penutup oleh dukun, kemudian petra-petra
tersebut dibawa ke tempat dan yang (tempat peleburan) untuk dibakar. Rupanya
pembakaran petra dimaksudkan sebagai pengganti upacara ngaben.[29]
F.
Interaksi
Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama Lain
Masyarakat
Tengger dikenal sebagai masyarakat yang sangat teratur dan serasi, jarang
sekali diantara mereka terjadi perselisihan, permusuhan, dan
perbuatan-perbuatan lain yang bersifat destruktif. Seperti salah satu desa yang
bernama desa Wonokitri di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang
terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan
desa sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Terdapat keunikan pada pola
kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait dengan
perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang dan adaptasi
terhadap lingkungan di sekitarnya.
Pola
kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri bersumber dari
nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat. Dalam kehidupan sehari-hari,
perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri diatur oleh
ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang berfungsi sebagai
sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. ada sebuah sistem pengendalian
sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Tengger, yaitu
adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat.[30]
Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
antara lain:
1.
Tidak boleh menyakiti atau membunuh
binatang (kecuali untuk korban dan dimakan).
2. Tidak
boleh mencuri
3. Tidak boleh
melakukan perbuatan jahat
4. Tidak boleh
berdusta
5.
Tidak boleh minum minuman yang
memabukkan.
Fungsi hukum
adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah:[31]
1. Memberikan
keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat Tengger yang
berlaku.
2. Memberi
ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan.
3. Mengembangkan
rasa malu.
4.
Mengembangkan rasa takut dalam jiwa
anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.
Pada
kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep yang menjadi
landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang
berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari
hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam
DAFTAR PUSTAKA
“Kearifan
Lokal Masyarakat Tengger”, diakses pada 15 April 2016, 21.41 sumber http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html
Darol Afia, Neng, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1997)
Kurniasudar,
“SUKU TENGGER” di akses pada 15 April
2016, 19.00, sumber http://kurniasudiar.wordpress.com/2013/05/06/suku-Tengger/
“Masyarakat
Tengger”, diakses pada 15 April 2016, 19.00,
sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
“Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, diakses pada 14 Maret 2016,
20.00, Sumberhttp://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
Sumberhttp://sipadu.isiska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf,
diakses pada 15 April 2016, 20.40
Sutarto Ayu, Kamus Budaya dan Religi Tengger, (Jember: Lembaga Penelitian
Universitas Jember, 2008)
“Tengger, Sejarah, Legenda dan Budayanya”, diakses pada 15 April
2016, 21.00, sumber http://www.wacananusantara.org/tengger-sejarah-legenda-dan-budayanya/
Sumber http://wisata-bromo.com/legenda-gunung-bromo-sejarah-bromo/,
diakses pada 15 April 2016, 20.44
Sumber http://blog-sejarah.blogspot.co.id/2008/10/sejarah-dan-asal-usul-suku-tengger.html,
diakses pada 15 April 2016, 20.48
[1] Sumber
http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses pada 15 April
2016, 20.40
[2] Kurniasudar, “SUKU TENGGER” di akses pada 15 April
2016, 19.00, sumber http://kurniasudiar.wordpress.com/2013/05/06/suku-Tengger/.
[3] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h. 43.
[4] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h. 44.
[5] “Tengger, Sejarah, Legenda dan Budayanya”, diakses pada 15 April
2016, 21.00, sumber http://www.wacananusantara.org/tengger-sejarah-legenda-dan-budayanya/
[6] Sumber http://wisata-bromo.com/legenda-gunung-bromo-sejarah-bromo/, diakses pada 15 April
2016, 20.44
[7] Sumber http://blog-sejarah.blogspot.co.id/2008/10/sejarah-dan-asal-usul-suku-tengger.html, diakses pada 15 April 2016,
20.48
[8] Ayu Sutarto, Kamus Budaya dan Religi Tengger,
(Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember, 2008), h.62.
[9] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h. 47.
[10] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h. 49-50.
[11] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h.50.
[13] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h.51.
[14] “Masyarakat Tengger”, diakses pada 15
April 2016, 17.00, sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
[15] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h. 52.
[16] “Masyarakat Tengger”, diakses pada 15
April 2016, 19.00, sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
[17] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h.54.
[18] Sumber
http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses pada 15 April
2016, 20.40
[19] “Masyarakat Tengger”, diakses pada 15
April 2016, 19.00, sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
[20] Sumber
http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses pada 15 April
2016, 20.40
[21] Sumber
http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses pada 15 April
2016, 20.40
[22] “Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, diakses pada 14 Maret 2016,
20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[23] “Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”,
diakses pada 14 Maret 2016, 20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[24] “Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”,
diakses pada 14 Maret 2016, 20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[25] “Masyarakat Tengger”, diakses pada 15 April
2016, 19.00, sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
[26] “Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”,
diakses pada 14 Maret 2016, 20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[27] “Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”,
diakses pada 14 Maret 2016, 20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[28] “Masyarakat Tengger”, diakses pada 15 April
2016, 19.00, sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/06/Masyarakat_Tengger.pdf
[29] “Sejarah Agama Tradisi Tengger
Bromo”,
diakses pada 14 Maret 2016, 20.00, sumber http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf
[30] “Kearifan Lokal
Masyarakat Tengger”, diakses pada 15 April 2016, 21.41 sumber http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html
[31] “Kearifan
Lokal Masyarakat Tengger”, diakses pada 15 April 2016, 21.41 sumber http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html
0 komentar:
Posting Komentar