AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK
Makalah
Diajukan
untuk Memenuhi Nilai Matakuliah Agama-Agama Lokal
Dosen
: Siti Nadroh, MA.
Disusun
oleh :
Kelompok
1 ( IVA )
Adiba Zahrotul Wildah ( 11140321000025 )
Firda Devy Rahmawati ( 11140321000039 )
Syamsul Arifin ( 11140321000034 )
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat,
karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Agama
Tradisional Orang Dayak”.
Makalah ini disusun bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.
Kami menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki
makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.
Semoga makalah ini dapat
mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.
Ciputat, 12 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR
...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
A. Pendahuluan
..................................................................................................... 1
B. Asal
Usul Orang Dayak ................................................................................... 1
C. Mite
dan Magi Orang Dayak ........................................................................... 5
D. Struktur
Keagamaan Orang Dayak
(Faham Kaharingan dan
Ajarannya) ................................................................ 11
E. Upacara
Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak .................................. 23
F. Kesenian
Suku Dayak ...................................................................................... 26
G. Interaksi
Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain.................. 30
H. Lampiran
Gambar ............................................................................................ 33
I. Kesimpulan
...................................................................................................... 38
PEMBAHASAN
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah nama Negara kepulauan di Asia
Tenggara yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia. Indonesia
terkenal sebagai Negara yang memiliki berbagai macam suku, budaya, adat
istiadat, tradisi, dan bahasa.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan membahas
tentang Suku Dayak yang merupakan salah satu suku asli Indonesia. Mulai dari
asal-usul, mite, magi, struktur keagamaan, dan interaksi suku Dayak dengan
agama-agama lain.
B.
Asal
Usul Orang Dayak
Kata “Dayak” pada
awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Kalimantan. Terutama
untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang umumnya memeluk agama Islam.
Di Kalimantan Timur penduduk asli yang memeluk agama Islam dan amat dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan zaman dulu dikenal dengan
sebutan Halok atau Halo’ atau orang Kutai. Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah penduduk
asli yang beragama Islam cenderung menggolongkan diri ke dalam kelompok suku
bangsa Banjar.[1] Sedangkan istilah “Dayak” merupakan sebutan bagi orang Dayak
yang non-Islam.
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati, namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam dan lambat laun mereka hidup terpencar-pencar tersebar ke seluruh pelosok wilayah Kalimantan, bahkan adapula yang mendiami pesisir pulau Kalimantan. Semboyan orang Dayak adalah “menteng ueh mamut” yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan, gagah berani, serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati, namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam dan lambat laun mereka hidup terpencar-pencar tersebar ke seluruh pelosok wilayah Kalimantan, bahkan adapula yang mendiami pesisir pulau Kalimantan. Semboyan orang Dayak adalah “menteng ueh mamut” yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan, gagah berani, serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.
Menurut pengertian dan penjelasan komunitas Suku Dayak
Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, kata “Suku”
artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri
diatas kakinya masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan
dan keyakinan masing-masing. Kata Dayak berasal dari kata “Ayak” atau “Ngayak” yang
artinya memilih, menyaring, bisa juga diartikan banyaknya kepercayaan manusia. Makna
kata Dayak disini adalah menyaring, memilah, dan memilih mana yang benar dan
mana yang salah.[2]
Kelompok-kelompok
pertama yang masuk wilayah Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weeddid, yang sekarang sudah pupus. Kemudian
disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Melayu Proto. Perpindahan ini berlangsung selama 1000 tahun, antara 3000-1500 SM.
Lebih lanjut disebutkan bahwa sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi
berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau
Indonesia oleh kelompok Melayu Deutro.
Suku Dayak termasuk pada kelompok yang
bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan
keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan
di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo
China ke Jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di
Indonesia. Selain itu, ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni
melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, karena
pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga
dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang
memisahkan pulau-pulau itu. Migrasi menjadi salah satu sebab adanya berbagai
sifat yang berbeda dalam kelompok-kelompok suku Dayak, baik dalam bahasa maupun
ciri-ciri budaya mereka.[3]
Pada tahun 1977-1978, benua Asia dan pulau
Kalimantan yang merupakan bagian Nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan
ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan
dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut “Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang
hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian
masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam
yang berasal dari kerajaan Demak datang bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk
Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat yang sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari Nusantara,
bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan, seperti bangsa Tionghoa
diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci), dan peralatan keramik.[4]
Menurut Tjilik Riwut, suku Dayak terbagi
dalam tujuh suku besar dan beberapa suku kecil, yaitu
1.
Dayak Ngaju
a.
Dayak Ngaju, terbagi dalam 53
suku kecil,
b.
Dayak Ma’anyaan, terbagi dalam
8 suku kecil,
c.
Dayak Dusun, terbagi dalam 8
suku kecil,
d.
Dayak Tawangan, terbagi dalam 6
suku kecil.
2.
Dayak Apu Kayan
a.
Dayak Kenya, terbagi dalam 24
suku kecil,
b.
Datak Kayan, terbagi dalam 10
suku kecil,
c.
Dayak Bahau, terbagi dalam 26
suku kecil.
3.
Dayak Iban atau Heban (Dayak
Laut) terbagi dalam 11 suku kecil.
4.
Dayak Klemantan (Dayak Darat)
a.
Dayak Klemantan, terbagi dalam
47 suku kecil,
b.
Dayak Ketungan, terbagi dalam
40 suku kecil.
5.
Dayak Murut
a.
Dayak Murut, terbagi dalam 28
suku kecil,
b.
Dayak Idaan (Dusun), terbagi
dalam 6 suku kecil,
c.
Dayak Tidung, terbagi dalam 10
suku kecil.
6.
Dayak Punan
a.
Dayak Basap, terbagi dalam 20
suku kecil,
b.
Dayak Punan, terbagi dalam 24
suku kecil,
c.
Dayak Ot, terbagi dalam 5 suku
kecil,
d.
Dayak Bukar, terbagi dalam 3
suku kecil.
7.
Dayak Ot-Danum, terbagi dalam
61 suku kecil.[5]
Meskipun terbagi kepada
ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang
khas. Ciri-ciri
tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau (senjata tajam sejenis parang), sumpit beliong (kapak Dayak),
pandangan terhadap alam, mata pencarian (berdagang, berburu, dan berladang),
dan kesenian.
C.
Mite
dan Magi Orang Dayak
1. Mite
Orang Dayak
Di dalam mite orang Dayak, legenda,
dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa-dewa, roh-roh ghaib,
kekuatan-kekuatan sakti, berbagai tata kehidupan dan sebagainya. Sikap dan
pandangan hidup suku Dayak sebagian besar berdasarkan tradisi yang diwarisi
dari nenek moyang. Tradisi ini meliputi doktrin dan mite dalam memberikan
pedoman yang samar-samar, misalnya untuk membedakan antara dewa-dewa dan
roh-roh ghaib. Roh-roh ghaib ini pun tidak berbeda dengan roh-roh para leluhur
dan semuanya harus dipuja.
Untuk melihat kenyataaan-kenyataan
di atas, akan dikemukakan salah satu contoh mengenai mitos orang Dayak, yaitu kepercayaan
tentang kejadian alam, manusia, dan benda sakti.
Hampir disetiap suku bangsa di
Indonesia ini, mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai kejadian alam dan
manusia. Hal ini tidak terkecuali pada suku Dayak yang terdapat pula berbagai
variasi, menurut suku dan kelompoknya masing-masing. Variasi-variasi tersebut
dapat dipelajari melalui cerita-cerita atau mitologi suku Dayak, diantaranya
adalah mitologi tentang Ranying Pohatora
dan Peres, Batang Garing, Mandau, dan sebagainya.
a. Cerita
tentang Ranying Pohatora dan Peres
Berdasarkan mitologi suku Dayak,
manusia itu diciptakan setelah Mahatalla selesai menciptakan alam semesta
dengan segala isinya. Setelah itu Peres[6] datang dan mendapatkan
manusia, terdiri dari pria dan wanita yang telah diciptakan oleh Ranying Pohatora[7]
dari telur yang ditemukan dalam pengembaraannya. Namun pada saat itu ciptaan Ranying
Pohatora belum sempurna karena belum mempunyai nafas dan tulang. Untuk mendapatkan
nafas dan tulang itu, Ranying Pohatora kembali mengembara untuk mendapatkan
nafas dan tulang dari batu.
Pada saat itulah Peres datang, lalu
dia membujuk Andin Ramban (istri Ranying Pohatora) agar mau memberikan nafas
yang tidak kekal, yaitu nafas dari angin dan tulang dari kayu. Hal ini menurut
Peres akan menguntungkan manusia itu sendiri, karena dapat hidup dan mati,
kemudian hidup dan mati kembali, begitu seterusnya.
Mendengar penjelasan Peres itu maka Andin
Ramban setuju, lalu mereka bekerja sama untuk menghidupkan manusia itu. Disaat
mereka sedang menghidupkan manusia itu, datanglah Ranying Pohatora, dia tidak
dapat marah karena diantara mereka ada istrinya sendiri. Meskipun manusia saat
itu sudah mempunyai nafas dan tulang itupun belum sempurna, karena belum
memiliki gigi, kuku, dan rambut. Dengan jiwa besar Ranying Pohatora
menyempurnakan wujud manusia tersebut.
b. Tentang
Batang Garing
Cerita ini amat populer dikalangan
suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying
Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla
melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian
lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing[8]. Tak lama kemudian pohon
itu berubah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, berlian,
dan batu-batu mulia lainnya.
Setelah batang garing terbentuk,
lalu Jata melepaskan burung tinggang betina dari sangkar emasnya, kemudian
burung itu terbang dan hinggap diatas pohon itu dan memakan buah pohon itu. Melihat
kenyataan itu, Mahatalla melemparkan kerisnya yang bertahtakan emas dan
permata. Kemudian menjelma menjadi burung tinggang jantan, yang dinamakan
Tambariang lalu dia memakan buah pohon itu pula.
Kehadiaran kedua ekor burung di atas pohon batang garing itu, menimbulkan
kecemburuan dan keirian dikalangan mereka, lalu timbullah perkelahian yang
cukup dahsyat dan menurut kepercayaan suku Dayak perang ini disebut sebagai “perang suci”. Akibat perkelahian ini,
makin hancurlah pohon batang garing secara berkeping-keping dan dari
kepingan-kepingan itulah terjadinya manusia pria dan wanita.
Selain daripada itu terjelma pula
dua bahtera permata dan masing-masing mereka melayari satu. Bahtera pertama,
dinamakan Putir Kahukup Bungking Garing
(putri dari kepingan garing) dipergunakan oleh yang wanita. Bahtera kedua,
bernama Manjamei Limut Garing Balua
Unggom Tinggang (sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh tinggang)
dipergunakan oleh pria. Akibat pertempuran itu, kedua tubuh burung itupun
hancur lebur dan dari bagian-bagian tubuh itu terciptalah alam semesta, bersama
dengan isi-isinya, seperti hutan, rimba, gunung, bukit, sugai, laut, dan
seluruh hasil kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Setelah kedua manusia itu tercipta,
keduanya lalu melakukan pengembaraan di tengah-tengah laut, sampai pada
akhirnya si lelaki meminta si wanita menjadi istrinya. Si wanita bersedia
menjadi istrinya dengan beberapa persyaratan :
1) Si
lelaki harus membuatkan sebuah dataran untuk tempat tinggal mereka
2) Agar
di atas tanah tersebut didirikan rumah tempat mereka hidup.[9]
c.
Mandau
Mandau merupakan
senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas
dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya
karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan
jatidiri). Dahulu mandau memiliki mitos yang dipercaya masyarakat Dayak
mengandung unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti
perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau
dipercaya memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya
itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual
tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu
(sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil dikayau, maka mandau
yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk
menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena dikayau, maka
rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.[10]
2. Magi Orang Dayak
Suku Dayak dikenal dengan ilmu
magisnya. Ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu mangaji
(berguru), balampah (bertapa), katuahan (keberuntungan), nupi (mimpi), minyak,
dan ada yang memang memiliki ilmu magis sejak lahir.
a. Mangaji atau
Basurah
Mangaji atau Basurah adalah salah
satu cara untuk mendapatkan ilmu magis Dayak dari seorang guru dengan membayar
syarat yang disebut Sarat Panduduk. Bentuk
pembayaran syarat ini tentu mengikuti cara tertentu, intinya
pembayarannya tidak boleh lebih mahal atau lebih murah dari jumlah pembayaran
pada saat sang guru mengaji dengan gurunya. Jika terjadi penyimpangan oleh sang
guru baik tentang jumlah pembayaran maupun pemberian ilmu magis kepada muridnya,
hal ini akan mengakibatkan kematian. Sang guru akan mengajarkan ilmu kepada
muridnya sesuai jenis ilmu magis yang diinginkan dan sesuai pula dengan tingkat
pembayaran.
b. Balampah
Suku Dayak percaya dengan balampah
dapat bertemu dengan Dewa, Sangiang, ataupun arwah orang-orang yang sudah
meninggal. Biasanya suku Dayak melakukan balampah dengan tujuan untuk pergi
berperang, mengaji atau akan pergi merantau. Tempat yang dipilih biasanya
tempat yang dianggap keramat seperti kuburuan keramat, hutan angker, pahewan,
pangantuha, kuburan orang mati saat melahirkan, kuburan bayi yang mati ketika
baru lahir, air terjun, pohon beringin, gua batu, dan sebagainya.
Balampah atau bertapa dilakukan
dengan dua cara yaitu atas dasar mangaji atau atas dasar keinginan sendiri. Balampah
atas dasar mengaji biasanya dilakukan oleh murid bersama gurunya. Sang guru
akan menentukan tempat dan waktu yang tepat. Balampah dengan cara ini jauh
lebih mudah dibandingkan balampah atas dasar keinginan sendiri, karena disini
sang murid hanya duduk bersemedi mengikuti petunjuk gurunya. Sang guru akan memanggil
roh-roh yang diperlukan, setelah roh-roh ini datang maka sang guru akan menjadi
saksi antara muridnya dengan roh tersebut. Jika sang murid beruntung maka
roh-roh itu akan memberikan ilmu magisnya secara langsung sesuai permintaan.[11]
Balampah atas keinginan sendiri,
biasanya harus mencari tahu syarat-syarat apa saja yang diperlukan pada daerah
tertentu itu dari seorang juru kunci atau tokoh adat di sekitar tempat keramat
tersebut. Untuk waktu balampah, akan ditentukan oleh orang tersebut sendiri.
Orang yang balampah ini akan pergi secara diam-diam tanpa diketahui oleh
seorangpun sambil membawa persembahannya yang akan diberikan kepada Dewa atau
Sangiang, biasanya pada sekitar jam 8 malam menuju tempat yang telah
ditentukannya. Disaat menjalani tapa, biasanya ia akan mendapat banyak godaan
dari roh-roh ghaib di sekitar. Roh-roh tersebut akan datang dalam wujud
binatang seperti ular, ulat bulu, lipan, kalajengking, dan suara-suara yang
tidak diketahui asalnya. Jika orang tersebut berhasil melewati godaan tahap
pertama maka roh-roh ini selanjutnya akan muncul dalam rupa binatang-binatang
buas seperti harimau, macan, dan lain-lain. Bila orang ini mampu bertahan maka
akan muncul sosok seperti manusia yang tinggi besar, kadang hanya mendengar suara
yang tidak kelihatan orangnya dan kadang juga datang dalam bentuk nenek moyang
yang telah meninggal. Bila balampah sudah selesai maka pulangnya akan
diantarkan oleh Dewa, Sangiang, ataupun arwah leluhur.
Di Kalimantan Tengah tempat yang
terkenal untuk balampah adalah Bukit Batu dan Bukit Bondang di Puruk Cahu.
Konon jika ingin balampah di puruk Bondang harus membawa hati manusia yang
baik.
c. Katuahan
atau Kanuahan
Ilmu
yang diperoleh secara kebetulan disebut Katuahan
atau keberuntungan. Peristiwa ini tergolong langka, misal seseorang mendapatkan
kumala lipan, mendapat pelanduk bertanduk, kijang putih, ular berkepala dua,
dan benda-benda aneh lainnya yang dipercaya dapat memberikan kekuatan magis.
d. Nupi atau
Mimpi
Orang
Dayak sangat percaya bahwa nupi atau mimpi mempunyai arti khusus atau dapat
juga dikatakan sebagai pertanda yang diberikan Ranying, Dewa, Malaikat,
Sangiang kepada manusia. Suku Dayak juga meyakini bahwa dengan mimpi, mereka
dapat bertemu dengan roh nenek moyang. Biasanya mimpi yang memiliki arti akan
berupa sebuah teka-teki. Orang yang mendapatkan ilmu melalui mimpi, ia akan
didatangi didalam mimpinya oleh roh dan memberikan petunjuk di suatu tempat
terdapat benda magis yang memiliki kemampuan khusus. Atas petunjuk yang cukup
jelas yang diterima melalui mimpi tersebut, orang yang bermimpi hanya tinggal
mengambil benda pemberian itu untuk dimanfaatkan.[12]
e.
Minyak dan Kayu
Ilmu Dayak juga dapat diperoleh
melalui macam-macam minyak, ada yang dikenal dengan minyak bintang dan ada juga minyak besi yang
memberikan kekebalan, minyak main, dan minyak garak digunakan oleh orang yang
sudah lulus kuntau atau dikenal
dengan istilah batamat. Ada sangat
banyak jenis minyak yang digunakan oleh Suku Dayak. Minyak-minyak ini ada yang
ditelan dan ada juga yang digantung di mandau atau diikat dipinggang sebagai
Penyang. Selain minyak ada juga jenis kayu-kayuan yang digunakan sebagai ajian,
misal kayu kepot sala, kayu manang, dan lain-lain.
f. Ilmu Magis
Sejak Lahir
Ilmu magis sejak lahir adalah ilmu
yang dibawa seseorang sejak lahirnya, ini sesuatu yang jarang terjadi. Bagi
kalangan Dayak Benuaq dan Tunjung salah satu yang diyakini adalah apabila anak
lahir bungkus atau terbungkus dengan selaput dalam bahasa Dayak Ngaju
disebut Kalubut atau Suut dalam bahasa Benuaqnya, maka konon
ia memiliki kembaran seekor buaya. Untuk membuka selaputnya harus dengan
hati-hati menggunakan padi atau ilalang dan tata cara tertentu. Jika bungkus
ini dibuka dengan benda lain maka ilmu yang seharusnya didapat oleh bayi
tersebut menjadi tidak berfungsi atau gagal. Konon orang yang memiliki ilmu
yang dibawa sejak lahir ini maka tidak ada ilmu magis yang mampu menyamai atau
menandinginya. Menurut penelitian peristiwa langka ini banyak terjadi pada
bayi-bayi yang lahir premature. Hal ini merupakan kejadian yang terjadi diantara
1 banding 80.000 bayi.[13]
D.
Struktur
Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan Ajarannya)
Kaharingan
berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno), yang berasal dari kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau
hidup, dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon ini
berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon
terdapat guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara
pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang
berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling
membutuhkan. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Bantu Nindan Tarung
yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat
tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah
di dunia atas yaitu di Lawu Tatau.[14]
Kaharingan merupakan agama asli
suku Dayak, yang biasa disebut dengan agama Hindu Kaharingan. Agama ini berbeda
dengan agama Hindu Bali, tetapi masih merupakan bagian dari agama Hindu Dharma
yang telah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. Agama Kaharingan
memuja roh-roh ghaib, roh-roh leluhur mereka, ataupun roh-roh lainnya. Mereka
juga percaya bahwa seluruh benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di
sekelilingnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, serta adapula diantara
benda-benda tersebut yang mereka percayai mempunyai kekuatan sakti.
Penamaan Hindu Kaharingan tampaknya
tidaklah dimaksudkan agar mereka menyembah dewa-dewa orang Hindu Bali seperti
Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, melainkan mereka menyembah roh-roh ghaib dan roh-roh
nenek moyang mereka sendiri. Demikian juga halnya suku Dayak, tidak ikut
merayakan upacara-upacara agama Hindu Bali, seperti Nyepi, Galungan, Kuningan,
Saraswati, dan lain sebagainya, bahkan mereka tidak mengenal sama sekali
istilah Sang Hyang Widhi, yaitu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dikalangan
penganut Hindu Bali. Mereka hanya mengenal Tuhan mereka adalah Ranying Hatalla Langit atau Raja Tontong Matanandu Kanarohan Tambing
Kabanteran Bulau (penguasa alam atas) dan Bawing Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah).[15]
Agama Kaharingan percaya pada satu
Tuhan yang disebut dengan Ranying Hatalla
(Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Basarah
merupakan upacara sembahyang bagi umat Kaharingan yang dilakukan setiap hari
Senin dan Kamis, waktunya pada sore hari yaitu di kala
matahari akan tenggelam. Tempat pertemuan semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan
seperangkat aturan adalah:
1. Panuturan
Karak Tungkup (awal dari segala kejadian) sejenis kitab suci
2. Talatah
Basarah atau Kandayu (kumpulan doa)
3. Tawar
(petunjuk tata cara memina pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras)
4. Pemberkatan
perkawinan
5. Buku
penyumpahan atau pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.[16]
Menurut
Koentjaraningrat, agama kaharingan memiliki empat unsur pokok yaitu[17] :
1. Emosi
keagamaan
Emosi
keagamaan ini memiliki unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan atau
aktifitas keagamaan yaitu yang pertama,
adanya kesadaran akan makhluk-makhluk halus yang merupakan roh-roh nenek moyang
mereka yang belum dibebaskan dari ikatan dunia melalui upacara tiwah. Karena
menurut kepercayaan orang Dayak, orang yang sudah meninggal dan belum diadakan
upacara tiwah, maka rohnya masih berada di alam dunia bahkan di sekitar
kerabatnya. Kemudian setelah diadakan upacara tiwah, barulah liau memiliki
tempat tinggal tetap.
Kedua, perasaan takut akan krisis dalam
hidup. Hal ini timbul akibat ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi masa-masa
krisis dalam kehidupannya, misal ketika seorang wanita hamil kehilangan bayi di
dalam kandungannya, tanpa tahu sebab atau akibat yang dapat dilihat. Akibatnya
wanita tersebut mengalami shock berat dan mengalami pendarahan fatal yang mengakibatkan
wanita itu meninggal.
Ketiga, kepercayaan terhadap
gejala-gejala alam. Gejala-gejala alam seperti banjir besar, gempa bumi, dan
sebagainya tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal fikiran mereka. Seperti
yang pernah terjadi di daerah Tanjung Jariangau yaitu banjir besar yang
berhasil menghanyutkan rumah-rumah penduduk dan menghilangkan beberapa nyawa. Keadaan
ini mendorong penduduk Tanjung Jariangau yang masih hidup untuk pindah ke desa
Pemantang.
Keempat, kepercayaan terhadap kekuatan
sakti. Mereka percaya akan adanya kekuatan sakti dalam alam yang dapat
menyusahkan dan menggangu hidup mereka. Tetapi kekuatan itu juga dapat
dipengaruhi dan dikendalikan oleh ilmu ghaib, seperti yang digunakan oleh para
balian atau dukun untuk diminta bantuannya, misal untuk menyuburan tanah
pertanian, menyembuhkan penyakit, mendatangkan hujan, atau mengusir hujan.
Kelima, adanya emosi solidaritas dalam
masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud adalah emosi kesatuan antar masyarakat
menggelora, misalnya pada masa pelaksanaan upacara keagamaan, terutama upacara
tiwah. Upacara ini wajib dilaksanakan seluruh anggota keluarga, bahkan
masyarakat sekeliling juga ikut terlibat didalamnya sehingga terjadi kesatuan
dan persatuan antar keluarga dan masyarakat.
Keenam, kepercayaan akan adanya dewa
tertinggi. Suku Dayak percaya akan adanya dewa atau roh ghaib yang menduduki
posisi tertinggi yang mendiami alam atas dan alam bawah.[18] Ada empat nama dewa atau
roh ghaib yang mendiami alam atas yang menjadi sebutan orang Dayak, yaitu
a) Bungai
atau Tingang, istilah ini berasal
dari nama burung yang dianggap mempunyai kesaktian. Nama ini menurut bahasa
asli suku Dayak.
b) Raja Tontong Matanandan,
Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan
(Raja Penjuru Matahari, Pangeran kelengkapan Bulan. Nama ini juga menurut
bahasa asli suku Dayak.
c) Mahatara.Sebutan
Mahatara mendekati istilah Hindu yaitu Maha-Batara,
yang menurut istilah Suku Dayak Ot-Danum disebut Pohatora.
d) Mahatalla,
yang dalam bahasa sehari-hari disebut Hatala,
Lahatala, atau Alatala. Istilah tersebut mendekati istilah Islam yaitu Allah Ta’ala.[19]
Sedangkan
yang mendiami alam bawah disebut Basuhun
Bulau Rabia yang berarti sungai emas, yang mengalirkan segala kekayaan dan
kebahagiaan. Roh-roh tersebut dikenal baik oleh suku Dayak. Nama lain yang
biasa disebut juga oleh orang Dayak untuk roh ini adalah:
a)
Tambon,
yang berwujud naga atau ular sakti yang melambangkan kelamin
betina sebagai perlambang kesuburan tempat memohon berkah, misalnya untuk mendapatkan
keturunan bagi orang yang belum mempunyai anak.
b)
Bawin
Jata Balawang Bulau (wanita Jata berpintu permata).
Dalam bahasa sehari-hari disebut Jata
dan menurut istilah suku Dayak Maanyan disebut Diwata.[20]
2. Sistim
kepercayaan
Sistim
kepercayaan suku Dayak meliputi kepercayaan kepada dunia ghaib,
kekuatan-kekuatan sakti, penyakit dan kematian, kehidupan sesudah mati, dan
mitologi.
Di
dalam dunia ghaib ini suku Dayak percaya akan adanya makhluk-makhluk ghaib yang
tidak dapat terjangkau oleh panca indra manusia dan kekuatan-kekuatan sakti
yang tidak bisa dikuasai oleh manusia biasa, yang bisa hanyalah para balian,
dukun, ataupun para tukang sihir. Makhluk ghaib yang sakti itu dinamakan ganan.
Berikut roh-roh yang dekat dengan
kehidupan manusia yaitu :
1)
Ranying Hatalla
Merupakan sumber dari
segala sesuatu yang ada dan tidak ada, yang merupakan zat pertama dan terakhir
mendiami alam semesta.
2)
Jata
Merupakan zat yang
diciptakan dari bayangan Ranying Hatalla di bawah langit (bumi). Jata dapat
memberi berkat dan rezeki yang berlimpah kepada manusia. Jata bersama dengan
Ranying Hatalla, menciptakan bumi selama 7 hari, yaitu: (a) hari pertama
menciptakan bumi; (b) hari kedua menciptakan air; (c) hari ketiga menciptakan
pohon atau tumbuhan; (d) hari keempat menciptakan laut atau lautan; (e) hari
kelima menciptakan awan atau angkasa dan pelangi; (f) hari keenam menciptakan
langit, bulan, binatang, matahari, dan segala isinya; dan (g) hari ketujuh
menciptakan cakrawala langit, siang, malam, memisahkan bumi, langit, dan laut
dengan segala isinya.
3)
Raja Tuntung Tahaseng
Raja Tuntung Tahaseng
bersemayam di atas langit dan oleh Ranying Hatala diberi tugas untuk
memperhatikan umur manusia.
4)
Janjahulung Tatu Riwut
Janjahulung Tatu Riwut
bersemayam di atas langit dan bertugas untuk memperhatikan nafas manusia, dia
terkenal dengan sebutan roh nafas.
5)
Gamala Tajan Tanggara
Roh ini bertugas
memperhatikan nafas manusia dan dikenal juga sebagai roh angin ribut atau
topan.
6)
Sangsaria Anak Nyahu
Menteng
Bertempat di langit,
bertugas memelihara dan menguasai guntur dan kilat.[21]
7)
Tamanang Tarai Bulau
Tinggal di atas langit
dan bertugas membantu ketiga saudaranya (Janjahulung Tatu Riwut, Gamala Tajan
Tanggara, Sangsaria Anak Nyahu Menteng).
8)
Raja Mandurut Untung
Tinggal di atas langit
dan bertugas memelihara, memberi dan memperhatikan rezeki manusia.
9)
Raja Pamise Andau
Bersemayam di atas
langit dan bertugas menghitung-hitung hari atau waktu manusia hidup sampai
meninggal dunia.
10) Manyamai
Malinggar Langit
Dia adalah seorang
manusia laki-laki pertama yang hidup di muka bumi. Dia diciptakan dalam keadaan
telanjang, Jata-lah yang memberinya pakaian. Dia bertugas memelihara dan
menguasai segala sesuatu makhluk (binatang dan tumbuhan) yang ada di atas tanah
dan segala sesuatu yang berada di bawah langit.
11) Kamelu
Baja Humat Hintan
Dia merupakan kembaran
Manyamai Malinggar Langit yang memiliki tugas yang sama dengan kembarannya.
Bedanya Kamelu Baja Humat Hintan adalah seorang wanita.
12) Indu
Sangumang
Dia adalah roh dari
anak Nabi Sulaiman yang bersemayam di hutan darat. Dia menampakan wujud dirinya
menyerupai manusia laki-laki bermata bulat, dia bersifat baik dan suka menolong
orang-orang yang tersesat di dalam hutan. Diapun dapat memberi rezeki kepada
manusia.
13) Kangkalingen
Ranying
Dia adalah roh penguasa
air, bisa dikatakan sebagai pembantu Jata dalam memelihara makhluk-makhluk yang
hidup di dalam air.[22]
14) Raja
Palimbahan
Roh ini adalah seorang
laki-laki yang meninggal yang berasal dari Banjarmasin, sifatnya baik dapat
mengobati orang sakit dan memberi rezeki.
15) Bawin
Urang Urei
Dia adalah roh penunggu
hutan. Wujudnya seperti perempuan, sifatnya baik dan dapat memberi rezeki
kepada orang yang meminta pertolongannya.
16) Raja
Salungkit Bulau
Roh ini adalah roh
orang laki-laki yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Roh ini dapat
memberi rezeki dan mengenali penyakit.
17) Raden
Pampang
Roh ini adalah roh
orang yang meninggal, berasal dari Banjarmasin. Dia roh yang baik, dapat
memberikan rezeki, dapat mengenali, dan menyembuhkan penyakit, dan dapat
memberikan pertolongan bagi orang yang minta tolong.
18) Putri
Ulak Nayang
Roh ini adalah istri
dari Raden Pampang, keduanya bersemayam di dalam air. Roh ini bersifat lemah
lembut, suka menolong, dapat memberi rezeki, dan dapat menyembuhkan penyakit.
19) Eteng
Roh ini adalah roh
orang yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Dia berwujud perempuan
yang lucu dan sifatnya bisa baik dan juga bisa mencelakakan.[23]
20) Nyahu
Papamu Taliwu Santep Dandang Tajahan
Roh ini adalah roh
penjaga kampung. Dia tinggal di dalam rumah kecil yang dinamakan Pasah Pangatuhu yang dibuatkan oleh umat
Kaharingan yang ditempatkan di sebelah kanan pekarangan rumah untuk melindungi
penduduk kampung dari roh-roh jahat.
21) Pampahilep
Roh ini adalah roh
penunggu hutan yang berwujud gadis cantik berambut panjang. Dia dapat bersifat
baik dan jahat.
22) Nyaring
Roh ini merupakan roh
yang paling jahat (ganas) yang berwujud seperti laki-laki berambut merah
berbadan besar dan tinggi. Sifatnya menyakiti manusia dan berada di dalam
hutan.
23) Bawin
Kamiak (Kangkamiak)
Roh ini adalah roh
penunggu hutan, roh ini termasuk jahat, dapat menyesatkan dan menggoda
laki-laki karena wujudnya merupakan seorang wanita cantik yang memiliki kuku
tajam.
24) Bawin
Kulang Kulit
Roh ini adalah roh
jahat penunggu hutan. Wujudnya menyerupai wanita cantik, memiliki kuku panjang,
bisa menyesatkan, dan menyakiti orang saat berada di hutan. Dia juga dapat
menampakan wujudnya berupa burung kulang kulit.
25) Bawin
Kalabawa
Roh ini adalah roh
jahat yang tinggal di hutan. Dia menyerupai wanita cantik dan menumpangi burung
kalabawa. Bagi umat Kaharingan, burung kulang kulit, kalabawa, dan burung
kumiak dianggap sebagai binatang totem[24].
26) Bawin
Kariau
Roh penunggu hutan ini
bersifat baik, suka menolong orang, dan dapat memberi petunjuk bagi orang yang
tersesat di hutan. Dia menyerupai wanita berbadan kecil dan sering terlihat
berjalan di hutan.[25]
27) Bahutai
Roh ini adalah roh
ganas, jahat, dan dapat menyakiti orang di hutan. Dia dapat bersahabat dengan
orang-orang jahat pula untuk menyakiti orang lain. Dia menyerupai anjing hitam
atau merah berbadan tinggi dan besar.
28) Buhai
Roh ini adalah roh yang
meninggal yang berasal dari Basirih. Roh ini dapat bersifat baik dan jahat.
29) Jin
Rambe Hai
Jin Rambe Hai adalah
roh halus yang berada di muara-muara sungai, sifatnya dapat baik maupun jahat. Pada
malam hari roh ini mendatangi kampung yang ditandai oleh suara lolongan anjing.
30) Rajan
Pali
Roh ini adalah roh
ghaib penunggu kuburan, dia memiliki sifat baik dan jahat.
31) Gila
Lontar
Roh ini merupakan roh
orang yang meninggal dunia yang berasal dari hulu sungai Kapuas. Roh ini berada
di darat. Sifatnya baik, bisa menolong orang sakit dan memberi kemampuan luar
biasa kepada orang yang disurupi.[26]
Dari
beberapa penjelasan mengenai roh-roh yang memiliki kemampuan dan sifat-sifat
berbeda terlihat bahwa manusia terutama umat Kaharingan harus menjaga hubungan
baik dengan roh-roh yang memiliki sifat baik maupun jahat. Menjaga hubungan
baik dapat dilakukan melalui upacara, saji-sajian, pengorbanan, serta taat dan
patuh akan anjuran maupun larangan yang berlaku sesuai adat masyarakat terutama
umat Kaharingan tersebut.
Orang
Dayak juga melakukan hubungan baik dengan roh-roh ghaib guna mengambil hatinya
supaya terhindar dari penyakit dan kematian. Karena mereka percaya dan meyakini
bahwa penyakit dan kematian merupakan dua hal yang sangat erat dengan roh-roh
ghaib. Namun upaya ini ada kalanya berhasil dan tak sedikitpun yang gagal,
sehingga kematian tidak dapat terhindarkan.
Suku
Dayak juga mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan pertama dan
masih ada kehidupan selanjutnya yaitu alam baka. Dengan demikian apa yang
terjadi setelah manusia meninggal, kemana roh mereka akan pergi, bagaimana
mencapai kehidupan dunia dan akhiratnya, serta makna dari upacara-upacara
kematian yang dilakukan semuanya sesuai dengan ajaran agama Kaharingan.
3. Sistim
upacara keagamaan
Menurut
kepercayaan suku Dayak, makhluk-makhluk ghaib dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu: (a) roh ghaib yang menduduki tempat utama, seperti Ranying Hatalla
Langit, Bawin Jata Balawang Bulau, serta beberapa pembantunya; (b) roh-roh
ghaib yang bersifat baik, seperti roh-roh nenek moyang mereka sendiri dan
roh-roh orang yang meninggal dengan tenang atau mayat yang sudah dilakukan upacara
tiwah; (c) roh-roh ghaib yang bersifat jahat merupakan roh-roh yang tidak tahu
darimana asalnya, roh-roh para leluhur yang mati penasaran, dan orang-orang
yang meninggal yang terlambat atau tidak dilakukan upacara tiwah.[27]
Pengelompokkan
tersebut diterapkan dalam bagaimana mereka memperlakukan roh-roh ghaib tersebut
dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Misalnya saat mereka melakukan upacara
penghormatan terhadap roh-roh utama (dewa-dewa), biasanya upacara ini dilakukan
secara besar-besaran yang didukung oleh peralatan upacara yang mereka anggap
memiliki kekuatan sakti, seperti gong, beras, dan pelaksanaan upacara
pengorbanan beberapa ekor binatang besar, seperti kerbau, sai, ataupun babi.
Upacara ini dilakukan berdasarkan rasa cinta, hormat,bakti, dan segan.
Penghormatan
kepada roh-roh baik, termasuk roh nenek moyang dapat dilakukan sendiri-sendiri
tanpa perantara balian atau basir, dengan diikuti sajian-sajian
berupa makanan. Upacara ini biasanya dilakukan sebagai ucapan terimakasih
kepada roh-roh tersebut karena berkat pertolongannya, mereka terhindar dari
berbagai macam mala petaka.
Sedangkan
penghormatan terhadap roh-roh jahat dilakukan berdasarkan perasaan takut,
ngeri, dan memandang rendah. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon agar
roh-roh tersebut tidak mengganggu atau bisa juga mereka memberikan hukuman
terhadap roh-roh tersebut atas perbuatan jahatnya. Sajiannya dalam upacara ini
biasanya berupa makanan, seperti lemang, ketan, telor, dan sebagainya.[28]
4. Kelompok
keagamaan
Kelompok
keagamaan dalam suku Dayak terwujud melalui adanya pelaksanaan upacara tiwah. Karena
upacara tiwah ini merupakan upacara yang wajib dilaksanakan oleh semua anggota
keluarga, upacara tiwah ini menjadi pendorong terwujudnya kelompok keagamaan. Dalam
pelaksanaan upacara ini terjadi pertemuan antara banyak orang, baik dari semua
anggota keluarga maupun orang-orang sekitar. Kesempatan itu mereka gunakan
untuk melepaskan kerinduan dengan bersenda gurau dan membicarakan
masalah-masalah keluarga, seperti perkawinan, warisan, dan masalah keluarga
lainnya.[29]
Dengan demikian
struktur keagamaan orang Dayak asli yaitu agama Kaharingan yang percaya akan
adanya roh-roh ghaib, kekuatan sakti, kematian, kehidupan setelah kematian, dan
kepercayaan akan tanda-tanda tertentu seperti tanda-tanda yang diperlihatkan
oleh hewan, alam, mimpi, maupun lainnya. Umat Kaharingan sering mengikut sertakan
balian sebagai pemimpin dan perantara
dalam pelaksanaan keagamaan, misal dalam pelaksanaan upacara-upacara tertentu,
sembahyang, dan kegiatan lainnya yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.
E.
Upacara
Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak
Bagi masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman
Kalimantan, memiliki dua makna dalam penyelenggaraan upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna religius adalah sebagai penghormatan
terakhir dan pensucian arwah sekaligus
mengantarkannya ke dunia yang abadi. Sedangkan makna sosial sebagai media
berinteraksi antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya.
Bagi orang Dayak, orang yang mati diadakan dua macam
penguburan, yaitu upacara kematian biasa (ritus
penguburan) dan pesta kematian yang
disebut tiwah[30]. Upacara kematian
dimaksudkan untuk memimpin liau[31] ke tempat peristirahatan
sementara, yaitu Bukit Pasahan Raung.
Para liau menunggu hingga diadakan upacara kedua yaitu upacara tiwah. Upacara tiwah ini tidak boleh
diabaikan, karena apabila diabaikan akan mendatangkan bencana kepada keluarga
yang masih hidup. Upacara ini merupakan upacara pemakanan terakhir yaitu dengan
memakamkan tulang-tulang sang wafat di tempat peristirahatan tetap yang disebut
sandong.[32]
1. Upacara
Kematian Biasa (ritus penguburan)
Upacara kematian biasa atau
penguburan sementara merupakan langkah penguburan orang yang telah meninggal
dunia sebelum dilakukan upacara tiwah oleh anggota keluarga. Mayat orang yang
telah meninggal, tidak langsung dikuburkan, melainkan disemayamkan di dalam
rumah selama tiga sampai tujuh hari. Hal ini dimaksudkan supaya para kerabat
yang datang bisa bertemu dengan mayat tersebut. Mayat tersebut diletakkan di
dalam peti mati di tengah-tengah ruangan rumah dengan kepala menghadap ke
sebelah barat dan kaki ke sebelah timur.
Setelah tiba masanya mayat
dimakamkan, maka balian memulai acara dengan membacakan mantera dengan suara
seperti bernyanyi yang sangat sedih. Dalam nyanyian itu biasanya balian mengisahkan
kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan oleh mayat tersebut selama masa
hidupnya. Sebelum peti mati diusung ke luar rumah, semua keluarga dekat diminta
untuk memegang tangan balian seperti orang bersalaman, barulah mayat
diberangkatkan dari rumah.
Prosesi pemakaman diawali dengan
pembacaan doa yang dipimpin oleh balian. Kemudian peti mati dimasukkan ke dalam
lubang dan bersamaan dengan dimasukkannya pula kepala-kepala manusia hasil pengayauan[33] atau kepala binatang
sebagai pengganti.
Selesai prosesi penguburan, anggota
keluarga dari mayat tersebut bergembira ria, perbuatan demikian dimaksudkan
agar mayat dapat disambut oleh para roh di alam baka dengan suasana yang
meriah. Selain itu, upacara bergembira ria ini dimaksudkan pula agar keluarga
yang ditinggalkan tidak merasa sedih dan kesepian. Upacara ini dilakukan selama
tiga hari tiga malam atau sampai tujuh hari tujuh malam.
Pada hari terakhir, upacara gembira
itu ditutup oleh balian dengan pembacaan doa. Kemudian diadakan upacara
penyembelihan binatang dan makan bersama diantara orang sekampung. Upacara ini
dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih atas perlakuan mereka terhadap prosesi
penguburan si mayat. Serta mengundang para roh dan menggembirakan mereka agar
bersedia menerima kedatangan arwah si mayat di alam roh.[34]
2. Pesta
Kematian (tiwah)
Pesta kematian tiwah sangat membutuhkan biaya yang sangat besar karena kesakralan
upacara ini membutuhkan berbagai macam perlengkapan yang tidak sedikit
jumlahnya. Upacara ini dilakukan selama tujuh hari tetapi persiapannya
dilakukan dari bulan-bulan sebelumnya, seperti mendirikan tempat upacaranya,
membuat tempat pemakaman tetap (sandong),
belanja perlengkapan, menumbuk padi, dan persiapan lainnya. Hal ini dilakukan
karena pelaksanaan upacara tiwah tidak hanya dilakukan untuk satu orang wafat
tetapi dilakukan untuk berpuluh-puluh orang wafat, karena semakin banyak
upacara ini dilakukan oleh banyak orang wafat semakin ringan biaya yang
dikeluarkan oleh masing-masing keluarga orang wafat. Dengan ini membuat tamu yang
akan mengikuti upacara tiwah dari masing-masing anggota orang wafat terkumpul
dengan jumlah besar sehingga jamuan yang disediakanpun harus dalam jumlah
besar.
Tiga hari sebelum tiwah dimulai, orang menjemput sang wafat yang mula-mula dimakamkan
untuk sementara dengan suatu pawai. Tulang-tulang sang wafat yang berada di
dalam peti dibawa ke balai. Setelah peti-peti jenazah ditempatkan di balai,
seluruh desa dan sungai dinyatakan najis. Dimulailah pali[35]
selama tujuh hari. Perbatasan desa dan sungai diberi rintangan rotan sebagai
tanda bahaya. Berikut urutan acara pesta kematian tiwah selama tujuh hari:
Hari pertama,
perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Untuk keperluan ini,
seekor kerbau disembelih. Hari pertama disebut juga hari pesta perempuan. Menjelang malam dimulailah upacara yang
disebut magah liau, yaitu
menghantarkan panyalumpok liau[36] ke alam akhirat. Upacara ini terdiri dari seorang imam sebagai
perantara Tempon Telon yang menjadi
pemimpin liau dalam melakukan
perjalanan ke alam akhirat. Upacara ini berakhir pagi hari, menandakan waktu
bahwa jiwa para wafat sudah tiba di lewu
liau[37].
Hari kedua,
merupakan hari korban manusia yang disebut
andau kabalik. Korban manusia ini diganti dengan korban kerbau. Korban ini dimaksud
untuk membuat jiwa budak itu melayani para wafat di alam baka.
Hari ketiga,
dilakukan magah liau karahang yaitu
pemakaman tulang-tulang para wafat ke dalam makam yang tetap. Para wafat
dimandikan di dalam kolam air hidup untuk mendapatkan hidup yang baru di dalam
dunia nenek moyangnya, kemudian dibersihkan menggunakan kain bersih.
Hari keempat,
diperuntukkan bagi para perempuan lagi. Mereka mempersiapkan makanan untuk
pesta berikutnya, yaitu puncak tiwah.
Hari kelima,
yang disebut andau laboh, perkabungan
dan pali berakhir. Seluruh suku
diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada di alam orang
hidup. Untuk berkumpul, orang yang sudah mati, biasanya diwakili oleh
orang-orang yang memakai topeng. Hari ini dimulai dengan malalohan yaitu pemberian hadiah dari masyarakat desa tetangga,
biasanya mereka membawa beras, tuak, buah kelapa, binatang untuk korban, uang,
dan sebagainya.
Hari keenam
dan ketujuh adalah hari pensucian
semua orang yang ikut serta di dalam perayaan tiwah ini. Hari itu dinamakan Hari Menggetu Rutas Pekasindus, yaitu
hari melepaskan segala kesialan dan seluruh halangan-halangan yang mungkin
timbul, sehubungan dengan kepergian liau
atau arwah menuju alam baka. [38]
F.
Kesenian
Suku Dayak
Suku
Dayak memiliki berbagai macam kesenian, seperti seni tari, seni suara, seni
lukis, dan kesusasteraan. Kesenian suku Dayak tidak hanya bernilai seni tetapi
juga mengandung nilai-nilai ritual keagamaan. Seperti halnya seni tari yang
sering dilakukan saat pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang biasanya tarian
ini merupakan bentuk penyambutan dan penghormatan atas kehadiran roh-roh yang
dihadirkan dalam upacara keagamaan tersebut. Seni suara sama halnya dengan seni
tari yang sering digunakan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam seni
suara, kemerduan suara dan keindahan lirik tidak merupakan unsur utama, tetapi
yang dianggap utama adalah nilai-nilai sakral yang terkandung dalam nyanyian
itu. Selain seni tari dan seni suara, adapula seni lukis dan kesusasteraan yang
juga memiliki nilai-nilai sakral dalam ritus keagamaan. Berikut macam-macam
seni tari, seni suara, seni lukis, dan kesusasteraan dalam masyarakat suku
Dayak:
1. Seni
Tari
a. Tari
Manasai
Tarian ini merupakan tari gembira,
diikuti irama gendang penuh semangat. Tari ini digunakan untuk menyambut
kedatangan tamu-tamu agung, ataupun menyambut pahlawan-pahlawan yang menang perang.
Tarian ini mengandung makna kesyukuran terhadap para dewa dan roh-rh nenek
moyang yang telah memberi kesempatan kepada masyarakat dan tamu-tamu atau para pahlawan
dari medan perang untuk bertemu dan bergembira ria.
b. Tari
Karang Dedeo
Tarian ini dilakukan pada saat upacara perkawinan
atau upacara-upacara gembira lainnya. Tarian ini dilakukan sambil mengelilingi
tihang potong atau lengan bulau, diikuti dengan nyanyian lagu karang dedeo
yaitu seperti pantun-pantun yang dilagukan oleh para penari secara bergiliran
atau bersahut-sahutan.
c. Tari
Bukan
Tarian ini ditarikan oleh pemuda dan pemudi
yang berjumlah 1-7 oang orang dengan menggunakan alat bambu dan tombak. Tarian ini
digunakan untuk menyambut para panglima yang baru pulang dari medan perang.[39]
d. Tari
Gumbeuk
Tarian ini diadakan khusus untuk upacara
kematian, yaitu pada upacara tiwah. Dalam tarian ini terkandung makna ritual
dan doa-doa agar si mati mendapat perlindungan dari para dewa dan roh-roh nenek
moyang.
e. Tari
Kanjan
Tari ini dilakukan pada upacara-upacara
kematian, termasuk dalam upacara tiwah. Tarian ini bersifat sakral dan
dibawakan oleh orang tua-tua, baik laki-laki ataupun perempuan. Tarian ini
bersifat doa keselamatan atau kerekatan terhadap sesuatu yang dilakukan dengan
mengelilingi sangkaraya huma (janur
bambu dalam rumah), sangkaraya petak (janur
bambu di tanah), sapundu (tempat
mengikatkan ternak), dan pantar (kayu
panjang sebagai tanda bagi orang yang akan ditiwahkan).
f. Tari
Giring-giring
Tarian ini merupakan tarian yang cukup
popular, bahkan sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Pada awalnya alat
yang digunakan sangat sederhana yaitu 2 potong bambu kering yang diisi batu
kerikil yang akan menimbulkan bunyi sesuai gerakan penarinya. Namun dalam perkembangannya,
bunyi-bunyian tersebut dihasilkan oleh kumpulan gelang yang terbuat dari logam
yang melingkar di tangan dan kaki para penari, serta melingkari tombak atau
mandau yang dipegang para penari.[40]
Tari-tarian tersebut merupakan beberapa
tarian yang sering dilakukan oleh suku Dayak dalam kegiatan-kegiatan tertentu
yang memiliki makna tersendiri, baik dalam gerakan, bunyi-bunyian yang
mengiringi, dan peralatan yang digunakan. Tari-tarian tersebut bersifat monoton
karena gerakan dari masing-masing tarian hampir dikatakan sama. Kemiripan
gerakan dalam tarian-tarian suku Dayak disebabkan oleh latar belakang
tari-tarian tersebut merupakan refleksi dari upacara ritus keagamaan orang
Dayak.
2. Seni
Suara
a. Nyanyian
Kandan
Nyanyian ini dinyanyikan oleh laki-laki
ataupun perempuan secara bergantian dalam suatu pesta perkawinan atau dalam
rangka menyambut pejabat pemerintah yang berkunjung ke desa mereka.
b. Nyanyian
Setangis
Nyanyian ini dinyanyikan
dalam upacara kematian. Isinya menceritakan tentang riwayat hidup orang yang
meninggal itu, serta puji-pujian dan doa terhadap si mayat agar arwahnya
diterima oleh Sangiang dengan baik. .
c. Nyanyian
Kayau Pulang
Nyanyian ini
dinyanyikan orang tua untuk anak yang sedang dalam buaian sebelum tidur malam
hari. Makna yang terkandung adalah doa-doa dan puji-pujian kepada dewa agar
memberi berkat dan bimbingan kepada anaknya yang masih kecil dalam mengarungi
hidup.
d. Mohing
Asang
Nyanyian ini
dinyanyikan secara bersama-sama, dengan penuh semangat dan menambah keberanian.
Nyanyian ini merupakan komando yang didengungan panglima perang sebagai tanda
dimulainya peperangan.
e. Nyanyian
Kandayu
Nyanyian ini
merupakan nyanyian rohani yang dinyanyikan saat upacara sembahyang. Nyanyian
ini bersifat pemujaan terhadap Ranying Hatalla Langit, serta pengharapan agar
dilimpahkan kebahagiaan hidup bersama sanak keluarganya, serta terhindar dari
segala gangguan roh-roh jahat dan segala bentuk mara bahaya.[41]
f. Nyanyian
Sansana Bandar
Nyanyian ini
bersifat pemujaan dan pengagungan terhadap sifat kesatriaan yang telah
ditunjukkan oleh seorang yang bernama Bandar[42]. Nyanyian ini dijadikan
sebagai suatu pedoman hidup bermasyarakat dan berumah tangga bagi masyarakat
Dayak.[43]
3. Seni
Lukis
Seni lukis dalam tradisi suku Dayak
mengandung unsur-unsur ritual, tidak hanya unsur seni saja. Seni lukis yang
berkembang dalam masyarakat Dayak adalah tato
atau tutang atau cacah ada tubuhnya. Tato menjadi tanda terutama kelak jika seorang
Dayak meninggal dunia dan telah menjalani tiwah, maka tato yang melekat
ditubuhnya berwarna hitam akan berubah warna menjadi keemasan. Hal ini akan
menjadi pertanda bahwa mereka adalah suku Dayak dan keturunan dari Antang Bajela Bulau. Dengan demikian
akan memudahkan mereka di alam baka dan terhindar dari siksaan buruk.[44]
Selain tato, masyarakat Dayak juga
memiliki ciri khas lain yaitu pesek (tindik
telinga) atau telinga panjang. Orang Dayak
dahulu banyak hidup di hutan, sehingga hal ini bertujuan untuk membedakan
antara manusia dengan monyet, menurut mereka “Jika telinganya pendek berarti
dia itu monyet”. Untuk kaum lelakinya
biasanya bandul telinganya dibuat ukir-ukiran.[45]
G.
Interaksi
Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain
Suku Dayak adalah suku yang memiliki agama
sendiri yang disebut dengan agama
kaharingan. Dimana menurut mitosnya agama ini diturunkan dari langit ketujuh
oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku Dayak
memiliki lambing yang dilambangkan dengan batang
haring yang memiliki arti pohon
kehidupan. Pohon kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau
keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia
dengan Tuhan. Suku Dayak menjadikan pohon kehidupan sebagai pedoman untuk
interaksi, bergaul, atau berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan
alam, manusia dengan Tuhan serta berhubungan baik antar umat beragama.
Orang Dayak awal beragama Kaharingan, tapi seiring
dengan berkembangnya zaman dan terjadinya asimilasi antara orang Dayak dan suku pendatang maka suku Dayak sendiri ada
yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan juga islam atau selain dari agama Kaharingan.
Agama
Kaharingan lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama
pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah menyebar luas di dunia terutama di
Indonesia dan lebih dikenal luas jika dibandingkan dengan suku Dayak, maka
agama Kaharingan dikategorikan ke cabang Hindu.
Bangsa
Dayak yang mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing.
Kemudian datanglah pedagang dari Gujarat yang beragam Islam (Arab Melayu)
dengan tujuan jual beli barang-barang dari, dan, kepada masyarakat Dayak.
Karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar
barang-barang dagangan dari, dan, ke Selat Malaka, mereka berkeinginan menetap
di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan
dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena
sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi
kultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai dikunjungi
masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.[46]
Di masa
itu sistem religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para
pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam
dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka
masyarakat lokal atau Dayak ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat
tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal
mulai tahun 1.550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada pemerintahan Giri Kusuma yang
merupakan Kerajaan Melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Selain itu, orang Dayak yang beragama Islam juga
tersebar di Kalimantan Selatan dan Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Masyarakat
Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap
tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut Jubata, Petara, Ala
Taala, Penompa dan lain-lain. Orang Dayak yang masih memegang teguh kepercayaan
dinamismenya dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri untuk masuk semakin
jauh ke pedalaman, beberapa masuk ke pedalaman
di Kalimantan Tengah, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas, dan
Watang Balangan..
Adapun
segilintir masyarakat Dayak yang telah
masuk agama islam karena perkawinan, lebih banyak meniru gaya hidup
pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak hubungan
dengan dunia luar. Pada umumnya masyarkat Dayak yang pindah agama Islam di
Kalimantan Barat dianggap oleh suku Dayak sama dengan suku Melayu. Suku Dayak
yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga
mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam (karena
perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku Melayu. Setelah
penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah (lewat
perkawinan dengan suku Melayu) ke agama Islam, agama Islam lebih identik dengan
suku Melayu dan agama Kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan
suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir
Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak dikunjungi pendatang,
baik lokal maupun Nusantara lainnya.[47]
H.
Lampiran
Gambar-Gambar
1. Dayak Ngaju
2. Dayak Apu Kayan
3. Dayak Iban
4. Dayak Klemantan
5. Dayak Murut
6. Dayak Punan
7. Dayak Ot Danum
Gambar 1. Peta Persebaran Suku Dayak.
Gambar 2. Rumah Panjang Suku
Dayak.
Gambar
3. Pohon Batang
Garing atau Pohon Kehidupan.
Gambar
4. Mandau (Senjata Khas Suku Dayak). Diambil dari http://www.padepokanspiritual.com/2013/10/senjata-suku-dayak-mandau-terbang.html.
Gambar
5. Sapundu
Gambar
6. Patuhu
Gambar
7. Pakaian Adat Suku Dayak.
Gambar
8. Tato Tubuh Orang Dayak.
Gambar
9. Telinga Panjang Suku Dayak
Gambar
10. Minyak Bintang dan Minyak Besi
Gambar
11. Kayu Kepot Sala dan Kayu Manang.
Gambar
12. Lipan, Kijang Putih, dan Ular Berkepala Dua.
Gambar
13. Bayi Berselaput.
I.
Kesimpulan
Dari apa yang sudah kita bahas diatas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa suku dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang
terletak di pulau Kalimantan. Suku dayak memiliki agama sendiri yang disebut
dengan agama Kaharingan. Agama kaharingan menurut mitos suku dayak merupakan
agama yang diturunkan dari langit ketujuh yang diturunkan oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku dayak
memiliki simbol yang disebut dengan batang
garing atau pohon kehidupan.
Batang garing ini melambangkan kedamaian kerukunan antar sesama manusia,
manusia dengan makhluk lain, dan manusia dengan tuhan. Di dalam suku dayak ini
sendiri terdapat banyak sekali mitologi dan magi yang mereka percayai dapat
memberikan kekuatan kepada mereka dan membuat mereka menjadi kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono,
Harun,Religi Suku Murba di Indonesia,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003).
Hidayah,
Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015).
Hadikusuma,
Hilman, Antropologi Agama, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993).
Lana,
Yasir, Kepercayaan dan Praktik Ritual
Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, Skripsi, (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
Salam,
Syamsir, Agama Kaharigan: Akar-Akar
Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Aliansi Pemuda Dayak
FPPI dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan
Ilmu Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
Kancana,
Okky Rusyandi Cahya, Suku Dayak,
diakses pada tanggal 15
Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/udaya-yang-tersembunyi-di-indonesia11.html.
Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/udaya-yang-tersembunyi-di-indonesia11.html.
Tria,Septy,
Suku Dayak Kenyah, diakses pada
tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24 WIB dari http://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
Zakaria,
Sejarah Suku Dayak, diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul
16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[1] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015),
h. 111.
[2] Yasir Lana, Kepercayaan dan Praktik Ritual Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi
Segandu, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.
9.
[3] Zakaria, Sejarah Suku Dayak, diakses
pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[4] Den Mpuh, Sejarah Awal Adanya Suku
Dayak di Indonesia, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 17.45 WIB dari http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html.
[5] Syamsir Salam, Agama
Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 68-69.
[6] Peres merupakan penyempurna dari kejadian manusia, dengan
memberikan nafas yang tidak kekal.
[7] Ranying Pohatora atau Mahatalla
merupakan pencipta alam semesta dan manusia.
[8] Pohon Batang Garing adalah pohon gading atau lebih terkenal
dikalangan suku Dayak sebagai pohon kehidupan.
[9] Syamsir Salam, Agama
Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 148-150.
[10] Zakaria, Sejarah Suku Dayak, diakses
pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[11] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[12] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[13] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[14] Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/udaya-yang-tersembunyi-di-indonesia.11.html.
[15] Syamsir Salam, Agama
Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,(Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 105-106.
[17] Syamsir Salam, Agama
Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108.
[18] Syamsir Salam, Agama
Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108-111.
[19] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 43.
[20] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 44.
[21] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 114-116.
[22] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 116-117.
[23] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 117-119.
[24] Binatang Totem merupakan binatang
keramat yang tidak boleh ditangkap ataupun dibunuh.
[25] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 119-120
[26] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 120.
[27] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 161.
[28] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 162.
[29] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 167.
[30]
Upacara Tiwah
merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama
Kaharingan yang dimaksudkan untuk mengantarkan
liau dalam perjalanannya ke
alam akhirat menuju ke lewu liau
(alam baka) yaitu tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya.
[31] Liau tidak lain dari sang wafat sendiri, artinya liau adalah bentuk eksistensi manusia
yang dimulai dengan kematiannya yang sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya
yang semula.
[32] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h.66.
[33] Pengayauan dalam tradisi suku Dayak merupakan tradisi membunuh musuh saat bepergian.
Namun sekarang mengalami pergeseran makna yaitu mengayau berarti melindungi
pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya
suatu bangunan.
[34] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 137-138.
[35] Pali adalah larangan.
[36] Panyalumpok Liau merupakan penyatuan jiwa dari segi jasmani dan
rohaninya.
[37] Lewu Liau bisa diartikan surga bagi suku Dayak. Lewu Liau digambarkan
sebagai suatu daerah yang penuh dengan air (sungai, telaga, dan sebagainya)
sehingga ada kesuburan, suasana yang tenang, tidak ada pembunuhan dan
pencurian, dan juga dikatakan bahwa keadaan disana serba terbalik (kanan
menjadi kiri, atas menjadi bawah, dan sebagainya).
[38] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta
: Gunung Mulia, 2003), h. 67-70.
[39] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 85-86.
[40] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 86-88.
[41] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 88-90.
[42] Bandar dikenal sebagai sosok panutan dan teladan bagi kehidupan
para lelaki karena sikap tanggung jawabnya terhadap keluarganya.
[43] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 89-90.
[44] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 91.
[45] Septy Tria, Suku Dayak Kenyah, diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24
WIB dari http://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
[46] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada
tanggal 15 Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
[47] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada
tanggal 15 Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
0 komentar:
Posting Komentar