AGAMA
TRADISIONAL SUKU NAULU
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama-agama lokal
Dosen : Siti Nadroh
Disusun
oleh
Wahyu
Vebry Putra : 11140321000007
Wahyu
:11140321000040
Dewi
Purnamasari :11140321000043
FAKULTAS
USHULUDDIN
PERBANDINGAN
AGAMA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah mengakui keberadaan Kepercayaan
adat yang berada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan pasal 29 ayat 2 UUD1945 :
Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing
masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya namun meskipun begitu perwujudan hak kebebasan dalam
beragama atau berkepercayaan belum seperti apa yang diharapkan. Masih banyak
peraturan pemerintah yang sangat diskriminatif terhadap pemeluk aliran kepercayaan
ini, hal ini pula yang dialami dan dirasakan oleh pemeluk Suku Naulu, sebagai
salah satu Agama tertua di Indonesia, sebagai agama yang dianut Suku Dayak di Kalimantan,
sebagai agama yang telah diangkat dan diperkenalkan oleh tjilik riwut pada awal-awal
kemerdekaan negeri ini. Hingga saat ini keberadaanya masih belum diakui secara resmi
oleh pemerintah republik ini.
BAB I
DAFTAR ISI
BAB I
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah dan asal usul Suku Naulu
a. Kebiasaan atau adat suku Naulu yang
suka memotong kepala manusia supaya
dihilangkan dan diganti dengan kain merah(berang) dan piring tua serta
tikar sebagai pembungkus orang yang meninggal.
b. Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai
untuk rapat-rapat supaya dipindahkan dari tepi pantai(lambat lama) ke tempat
baru dan tiang leewaka ditanggung oleh suku naulu.
2. Pokok ajaran kepercayaan Suku Naulu
a. Konsepsi tentang Tuhan
b. Mite penjadian
3. Upacara keagamaan Suku Naulu
a. Upaca potong kepala
b. Upacara masa puber
c. Upacara perkawinan
d. Upacara melahirkan
e. Upacara cukur rambut
f. Upacara kematian
4. Adat dan Etika
Suku Naulu
a. Bertamu
b. Bertemu
c. Makan dan minum
d. Ludah
e. Kain berang
f. Baeleu
4. Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan
Agama-agama lain
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Sejarah dan asal usul Suku Naulu
Pulau Seram adalah pulau yang mempunyai luas
kira-kira 18.625 KM. Pulau Maluku terletak
di Wilayah Indonesia bagian Timur mempunyai posisi geografis yang
strategis, yang terletak memanjang dari utara ke selatan pada 3° Lintang
Utara 9°Lintang Selatan dan dari barat ke timur 124° Bujur Timur dan 137°
Bujur Timur. Luas daerahMaluku ± 85.728 km dan terdiri dari 999 buah pulau.
Pulau Seram adalah pulau yang tertua struktur geoligisnya dibandingkan pulau
lainnya di daerah Maluku. Pulau Seram yang terkenal oleh penduduk Maluku Tengah dengan sebutan “NUSAINA” atau “PULAU IBU” adalah merupakan pusat penyebaran penduduk ke pulau-pulau sekitarnya antara lain pulau
Ambon, pulau Haruku dan pulau Saparua pulau ini adalah pulau terbesar di
Provinsi Maluku. Pulau Seram teridir dari 9 kecamatan, yaitu sebagai berikut:
a. Kecamatan Timur ibukota Geser
b. Kecamatan Seram Barat 1 ibu kota
Piru
c. Kecamatan barat 2 ibukota Kairatu
d. Kecamatan Taniwel IbuKota Taniwel
e. Kecamatan Tehoru Ibukota Tehoru
f. Kecamatan Bula Ibukota Bula
g. Kecamatan Seram Utara Ibukota
Wahai
h. Kecamatan Wariname Ibukoata
Wariname
i.
Kecamatan Amahi Ibukota Amahi[1]
Suku
Naulu ini terletak di kecamatan Amahi, kampong lama/Yuhisiro dan Bonara. Kata
Naulu berasal dari dua kata yaitu nua yang berarti air, dan ulu yang
berarti kepala. Jadi kata Naulu adalah mempunyai arti suku yang mendiami kepala
air Nua/sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal
nenek moyang mereka sungai Nua yang bersumber di gunung Manusela dan terbagi
menjadi dua bagian yaitu: 1. Nua ulu yang bermuara ke Seram Utara. 2. Nua Ulu
yang bermuara ke Marakiri.[2]
Pada
zaman dahulu, telah terjadi perselisihan diantara klan, dan mengakibatkan para
kepala suku bersepakat untuk pindah ke pantai, tetapi mareka masih dalam
keadaan bingung dalam memilih pantai yang akan menjadi tempat tinggal mereka.
selain tempat, mereka juga mencari arah matahari yang akan menjadi acuan
mereka, dari mana matahari terbit dan diamana matahari terbenam. Kemudian
masing-masing kepala suku berbutan tempat, sehingga mengakibatkan mereka
berselisih lagi dan mereka pu kembali ke Pia Weno di Amatrino. Setelah lama
mereka tinggal di tempat itu, kemudian merka melakukan hubungan dengan raja
Sepa, dan memohon untuk hidup berdampingan, sang raja pun tak keberatan dengan
permintaan mereka, asalkan mereka memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Raja.
Syarat-syarat itu ialah:
a. Kebiasaan atau adat
suku Naulu yang suka memotong kepala manusia supaya dihilangkan dan diganti dengan kain merah(berang)
dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang yang meninggal.
b. Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai untuk
rapat-rapat supaya dipindahkan dari tepi pantai(lambat lama) ke tempat baru dan
tiang leewaka ditanggung oleh suku naulu.
Sejak saat itulah sudah tidak ada
lagi Suku Naulu yang memotong kepala manusia dan Baeleu sepu dibangun
secara gotong royong oleh Suku Naulu. Dalam suku ini terdapat kabta atau
semacam kaidah-kaidah atau mantra-mantra yang mengambarkan persahabatan antara
Suku Naulu dengan Raja Sepa: Toutoya
be lete ei lete, eilete nunusaku o paratane. Maksudnya, sebeleum Suku Naulu
bertemu dengan Raja Sepa di pantai Naulu laksana hewan yang berkeliaran di pantai
Pola perkampungan mereka biasanya berupa rumah-rumah yang
berderet di sepanjang kiri kanan jalan utama kampung. Setiap rumah yang
memiliki anak gadis yang siap untuk dicarikan jodoh mendirikan sebuah bangunan
sakral kecil yang mereka sebut posuno. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan
spritual umum mereka mendirikan sebuah bangunan sakral untuk memuja roh kakek
dan nenek moyang. Bangunan itu disebut suwane. Selain itu mereka mempunyai
sebuah balai adat yang digunakan untuk musyawarah adat yang dinamai baileo.
2. Pokok ajaran kepercayaan Suku
Naulu
a. Konsepsi tentang Tuhan
Suku Naulu percaya dengan adanya Allah oleh
karna itu segala sesuatu yang mereka inginkan mereka langsung berdoa kepada
Allah SWT yang mereka sebut Upu Kuanahatana atau Upu Allah SWT. Upu ini adalah
kepercayaan yang paling tertinggi bagi Suku Naulu dalam kabata misalnya
disebutkan [3]
“Eh Upu Kuanahatana nante tuaman yaupu
amomo, kalu bole aue malisene kuakahue
Irene pakarian duna sanan duna salam tanka weundo kuakarane supaya upare huru
amahai sakahannusanaunda”.
Maksud dari doa tersebut adalah mereka
memohon kepada Upu kuanahatana agar mereka diberikan keselamatan kebaikan di dunia
untuk dirinya sendiri dan orang lain, d0
an untuk keselamatan dunia pada umumnya.[4]
Sebelum melakukan doa tersebut
mereka pun harus melakukan upacara terlebih dahulu seperti menyiapkan sesajen
yang terdiri dari makana, sirih, buah pinang, tembakau, kapur dan beberapa
jenis daun tertentu yang diletakan diatas piring tua. Kemudian mereka harus
mengundang para ketua adat yang nantinya ketua adat tersebut harus berdiri
ditengah pintu sambil membacakan kabata atau yang sejenis dengan hal itu dalam
sumpahpun mereka menyebut nama Upu kuahanatana seperti “ Upu kuahanatana atau
Upu Allah SWT” sambil menunjukan telunjuknya keatas.
b. Mite penjadian, Ada beberapa mite dalam proses
kejadian alam, berikut adalah proses mite penjadian:
1. Awalu, (Upu Kuanahatan) menjadikan
nunusaku. Nunusaku adalah suatu hal yang berpribadi. Dari nunusaku
inilah menjelmaseorang pribadi bentuk laki-laki. Pada suatu waktu, terjadi
hubungan antara seorang pribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita
yang berasal dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini
lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan Sapalewa. Dengan izin Upu
Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan Sapalewa itu
menjadi danau. Kemudian danau itu mengalir menjadi tiga sungai yaitu:
a. Sungai yang mengalir ke utara
bernama Sapalewa
b. Sungai yang mengalir ke selatan
bernama Tala
c. Sungai yang mengalir ke barat
bernama Eti. Dari sinilah kemudian manusia dan alam
berkembang hingga saat ini.
2. Upu Kuanahatana menciptakan langit
sebagai pribadi laki-laki(adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari
persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain. Dalam
proses terjadinya bumi dan segala isinya. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu
Kuanahatana menurunkan maatope dari langit. Ketika maatope diturunkan dari
langit dengan tali seperti benang sutra yang sangat halus, mengingat bumi
dimana tempat turunnya maatope ini masih cair maka tiba-tiba berubah menjadi
padat, dan akhirnya maatopemaanawa yakni maatope laki-laki. Setelah itu Upu
Kuanahatana menciptakan maatope hihina (perempuan) dari langit, langsung
diturunkan ke bumi . dari maatope Maanawa dan maatope hihina inilah
berkembangnya manusia.
Bukti bahwa maatope/Upu Ama itu
keluar dari Nunusaku ialah karena adanya kabata yang berbunyi “he le te
Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[5]
Dalam tradisi memotong kepala
manusia yang diseprcayai dapat menjaga rumah adat milik mereka, tradisi ini
diyakini bahwa jika tidak mendapatkan kepala manusia sebagai persembahanm maka
dapat mendatangkan musibah bagi suku ini. Tidak hanya itu, bahkan dalam tradisi
nenek moyangnya, apabila seorang raja hendak mengangkat menantu laki-laki, maka
sang calon harus menunjukan kejanntannya
dengan mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawinnya.
b. Upacara masa puber
Masa puber adalah suatu masa
peralihan bagi seorang anak dari sifat kekanak-kanakan ke usia dewasa. Dalam
Suku Naulu masa ini akan di meriahkan dengan membuat upacara secara
besar-besaran.
Jika orang tua yang memiliki anak
usia 10-12 tahun, maka anak itu harus mengenakan cidako yaitu selembar
kain yang berfungsi menutup bagian pusar ke bawah dan kebelakangnya berfungsi
untuk mengikat pinggang. Upacara cidako ini dimeriahkan dengan berbagai upacara
kesenian dan sajian-sajian makanan yang beraneka ragam, dan inti dari upacara
ini adalah untuk memberikan bekal
ketangkasan, keterampilan serta kemampuannya untuk menghadapi tugas-tugas berat
yang di alami oleh orang dewasa. terhadap anak-anak yang mau mnginjak usia
dewasa. Pembekalan itu dilakukan dengan menguji seseorang untuk pergi ke hutan
dan ia harus bisa mengkap binatang buas, ketika pengujian itu berlangsung
seorang anak akan di bombing oleh orang tua mereka dan para tertua adat.
Dikalangan Suku Naulu terdapat dua macam
perkawinan, yaitu:
1. Kawin minta (Iai Sosinai)
Sebagaimana lazimnya sebuah pesta
perkawinan, Suku Naulu pun memiliki upacara adat istiadat yang tidak jauh
berbeda dengan adat perkawinan pada umumnya, seperti harus adanya maskawin dari
mempelai laki-laki yang diberikan terhadap mempelai perempuan dan besarnya
maskawin tergantung pada kemampuan mempelai laki-laki, namun dalam Suku Naulu
ada keharusan yang diebrikan dari pihak laki-laki kepada mempelai peempuan,
seperti 5 meter kain berang dan 5 buah piring tua.[6]
Upacara perkawinan dilaksanaka di
rumah mempelai perempuan, dan mempelai laki-laki di antar oleh seluruh keluarga
dan kerabatnya menuju tempat dimana acara akan dilangsungkan dengan memakai
pakaian adat setempat dan diringi dengan berbagai bunyi-bunyian, kemudian
disandingkan dengan mempelai perempuan. Pada kesokan harinya kedua pengantin
diantar oleh kerabat terdekatnya ke rumah orang tua laki-laki. Di rumah
laki-laki akan diadakan upacara nuhun yaitu pernikahan ulang dengan penekanan
acara pada pemberian nasihat-nasihat kepada kedua mempelai yang disampaikan
oleh orang tua masing-masing dan tertua adat.
Setelah
upacara nuhun ini berlangsung, merika dapat memilih salah satu dari tiga hal,
yaitu: pertama, tinggal di rumah orangtua laki-laki, kedua tinggal di rumah
orangtua perempuan dan ketiga tinggal di rumah sendiri.
2. Kawin masuk (kona upu)
Adat istiadat dalam kuna upu
adalah sebagai berikut:
·
Sejak diputuskannya penerimaan peminangan
dari pihak prempuan terhadap mempelai laki-laki, pihak laki-laki diperbolehkan
tinggal di rumah perempuan.
·
Waktu pernikahan ditentukan oleh pihak
perempuan,
·
Semua biaya pernikahan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak perempuan,
·
Nuhun (pernikahan) dan pesta pernikahan
diadakan di rumah perempuan,
·
Setelah keduanya melangsungkan pernikahan,
mereka di haruskan untuk tinggal di rumah perempuan.[7]
Kawin masuk yang biayanya di
tanggung oleh pihak perempuan ini mempunyai arti tersendiri, yaitu, agar pihak
laki-laki bertanggung jawab kepada keluarga perempuandan menjaga sepenuhnya
orangtua perempuan sampai mereka meninggal dunia. Setelah orangtua perempuan
meninggal dunia, barulah mempelai laki-laki di berilah pilihan sebagai beriut:
1.tetap tinggal di rumah itu
2. membangun rumah baru
3. kembali ke rumah orang tuanya.
Dalam Suku Naulu, seorang ibu yang
melahirkan dianggap dirinya dalam keadaan kotor, oleh karena itu setiap wanita
yang mealhirkan akan diasingkan ke sebuah rumah kecil yang di bangun di
belakang/samping rumah yang mereka sebut dengan Pasumo[8].
Sebelum ibu yang melahirkan ke
luar dari pasumo, maka mereka harus mengadakan pesta Nuhune yaitu pesta adat khusus bagi perempuan yang
baru melahirkan. Pesta ini merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan dan
dibuat sesuai dengan kemampuan masing-masing, oleh karena itu, jika dalam waktu
50 hari keluarga si ibu belum mempunyai atau belum mampu melaksanakan pesta
tersebut, maka ibu yang melahirkan harus tetap tinggal di dalam Pasumo
tersebut sampai ia mampu melaksanakan pesta Nuhune.
Jika sudah bisa mengadakan
upacara, orang tua harus memintakan kesedihan orang-orang tua adat perempuan
atau keturunan dari maatope Hibina untuk memandikan si ibu dengan anaknya,
sehari sebelum upacara di mulai, orang tua adat yang akan memandikan dan
keluarga yang bersangkutan harus melakukan puasa.
Upacara cukur rambut atau di kenal
dengan nama O mane bua minna,
upacara ini diadakan pada saat anak berusia 5-6 tahun. Apabila anak sudah
berusia 6 tahun tapi keluarga tersebut belum mampu mengadakan upacara ini, maka
akan diadakan denda kain berang kepada rumah adat.
Dalam upacara ini, rambut si anak
di cukur habis, karena dalam kepercayaan mereka, rambut yang terbawa sejak
lahir tidak boleh di bawa sampai besar, karena sifat kekanak-kanakan yang tidak
baik, harus ditinggalkan bersama dengan semua rambut yang di cukur itu dan
sifat-sifat baik dalam kebesarannya diharapkan ada pada saat ia dewasa kelak.
Pada masyarakat suku Naulu tradisi
mencukur rambut merupakan peristiwa sekali dalam seumur hidup, setelah dewasa
rambut seseorang tidak boleh di cukur lagi, apalagi dalam peraturan adat mereka
dalam melaksanakan uapacara balieu seseorang tidak boleh berkepala gundul,
aturan ini tidak boleh di langgar karena perintah dari maatope.
Jika diantara mereka ada yang
meninggal, mereka pun mengenal berbagai upacara kematian, jik seseorang yang
meninggal karena penyakit yang telah diderita terlalu lama, maka mayatnya harus
dimandikan. Bila suami yang meninggal maka istrinya lah yang harus memandikan,
begitupun sebaliknya, jika istri yang meninggal maka suami harus memandikan[9].
Bagi keluarga yang mampu, mayatnya
dibungkus dengan kain berang, lapisan kedua dengan beberapa lembar kain sarung
dan lapisan terakhir dibungkus dengan tikar. Cidako yang dulu dipakai
pada masa pubernya diikut sertakan kemudian diberikan do’a-do’a yang biasanya
dibawa oleh orang tua adat.
Orang yang diperbolehkan membawa mayat ke
kuburan hanya empat orang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Pemakaman
mayat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi wanita yang meniggal dalam
keadaan datang bulan, maka mayatnya di kubur di dalam tanah
2. Bagi wanita yang meninggal dalam
keadaan suci dari haid, atau semua mayat yang berjenis kelamin laki-laki,
diletakan di atas para-para berukuran 2x2m dan tinggi 2m yang di beri pagar
sekelilignya.
Pemakaman orang – orang biasa dengan kepala-kepala
soam itu dipisahkan.
4. Adat dan Etika Suku Naulu
Saku naulu adalah suku yang sangat menghormati
tamu-tamunya. Jika ada tamu yang berkunjung ke rumahnya, mereka langsung
mengucapkan tabea (menghormat dan mempersilahkan). Di dalam rumah
masyarat Suku Naulua selalu tersedia daun sirih, buah pinang, kapur dan
lain-lain sebagai persediaan pertama untuk menghormati tamunya.
Mereka sangat senang sekali jika tamunya dapat memakan
sirih atau pinang yang telah disediakan. Prinship mereka dalam menjamu tamu
adalah, jika tamu datang dengan senang riang gembira, maka pulangnya pun harus
seperti itu.
b. Bertemu
Jika bertemu dengan temannya di dalam hutan da kebetulan
ia sedang memegang daging, kemudian temannya menyapa kemana atau dari mana,
maka yang bertanya dianggap membutuhkan daging tersebut, tanpa diminta daging
itu sksn diberikan paa orang yang bertanya tersebut. Jika daging rusa yang di
bawanya, maka setelah sampai rumah harus di jualnya sedikit, jika daging babi
yang di bawa maka semua tetanggaya akan kebagian.
Suku Naulu senang makan bersama keluarga, jika merema mau
memulai makan, maka diharuskan memakai baju terlebih dahulu. Makanan
dihidangkan di atas tikar yang digelar diatas tanah. Ketika semua keluarga
telah berkumpul dan menghadap makanan, masing-masing dari mereka membaca “eh
Upu Tabea” (penhormatan kepada Uou Kuanahatana).
Jika seseorang terluka, atau kena penyakit sakit kepala,
sakit perut, dan lain-lain. Mereka berkeyakinan bahwa penyakit-penyakit itu
dapat disembuhkan dengan ludah orang-orang tua adat. Dengan mengharapkan
bantuan dari Upu Kuanahatana, melalui ludah yang dioleskan pada penderita sakit
tersebut. Khusus bagi pengantin baru, ludah pertamanya di simpan di tempat
khusus hingga mereka mempunyai anak kelak.
Kain berang merupakan pertanda kedewasaannya seseorang ,
karena seseorang dapat memakai kain merah atau kain berang ini setelah ia
melalui upacara masa puber, bukan hanya itu, denda atas suatu pelanggaran di
tebus dengan kain berang dan juga kain berang ini merupakan penghormatan pada
seorang ibu yang baru saja melahirkan. Ketika seorang ibu melahirkan otomatis
dia menumpahkan darah yang banyak. Dan kain yang berwarna putih bagian dari
sidako yang dipakai ketika upacara masa puber, sebagai lambing bahwa ayah yang
telah memberikan energy kepada ibu yang menyebabkan adanya manusia[10].
Baeleu merupakan bangunan besar dalam kehidupan
masayarakat Naulu. Baeleu dapat berfungsi sebagai: pertama, baeleu sebagai
rumah adat, tempat untuk membicarakan masalah-masalah adat istiadat atau
acara-acara lain. Segala persoalan-persoalan adat dibicarakan dan diputuskan di
Baeleu. Dan bangunan ini pun dipercaya tempat berkumpul kebaikan. Semua upacara
pesta adat dilaksanakan di baeleu, seperti:
a. Titalano (upacara masuk baeleu)
b. Cikalele (upacara tarian setelah masuk
baeuleu)
Kedua, baeuleu sebagai musieum, semua
barang-barang yang berharga yakni warisan-warisan dari nenek moyang, demikian
juga dengan barang-barang antic seperti piring tua, dan kain berang.
Suku naulu dan suku huaulu
sebenarnya masih berada dalam satu nenek moyang. Konon, pada jaman dahulu
mereka berasal dari satu ayah ayah dengan ibuyang berbeda. Karena permasalahan
adat, maka keduanya dipisahkan dengan tujuab satu ke utara dan satunya
keselatan. Sejak itu, kedua suku ini berkembang pesat menjadi naulu dan huaulu.
Kekerabatan mereka tidak hanya ada di cerita, namun juga Nampak dari beberapa
tradisi mereka yang memiliki kesamaan, termasuk kain merah yang disebut kain
berang yang wajib dipakai oleh setiap laki-laki dewasa dalam suku. Salah satu
yang paling menonjol diantara kedua suku ini adalah suku naulu. Suku yang hidup
di pulai selatan pulai seram, tepatnya di dua negri atau dusun Sep dan Luanea.
Dusun Sepa memiliki lokasi yang lebih dekat dengan kehidupan modern, sehingga
suku Naulu yang hidup di dusun ini cenderung lebih modern dan lebih maju dalam
pembangunan dusunnya. Untuk diketahui, dusun Sepa memiliki lima pemukiman
yaitu, Bonara, Naulu lama, Hauwalan, yalahatan, dan rouha. [12]
DAFTAR PUSTAKA
Badan penelitian dan perkembangan agama
departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada beberapa suku di
Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.)
http://www.indonesia-kaya.com/kanal/detail/tradisi-suku-naulu-dan
-modernisasi-masa-kini
Badan penelitian dan perkembangan agama
departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada beberapa suku di
Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.)
https://www.google.com/search?q=rumah+adat+suku+naulu&client=firefox-beta&rls=org.mozilla.
[1] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:103
[2] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:103-104
[3] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:104
[4] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:105
[5] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 107-108.
[6] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 109.
[7] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 110..
[8] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 110-111.
[9] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 111.
[10] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 112.
[12]
http://www.indonesia-kaya.com/kanal/detail/tradisi-suku-naulu-dan
-modernisasi-masa-kini. Diakses pada tgl 17 maret 2016. Jam: 16:30 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar