AGAMA TRADISIONAL ORANG SAMIN
Makalah
Diajukan untuk
Memenuhi Nilai Matakuliah Agama-Agama Lokal
Dosen : Siti Nadroh, MA.
Disusun oleh :
Kelompok 7
Dede Imron Rosadi
( 11140321000019 )
Muhammad Samtoni ( 11140321000014 )
Nur Afifah ( 11140321000004 )
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang
terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Agama Tradisional Orang Samin”.
Makalah ini disusun bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.
Kami menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki
makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.
Semoga makalah ini dapat
mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.
Ciputat, 22
Maret 2016
Penulis
A.
Pendahuluan
Masyarakat
Samin adalah sekelompok masyarakat yang terdapat di daerah
Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Propinsi Jawa Tengah.[1]
Menurut
asal katanya, Samin berasal dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata
ini merujuk pada konsep ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama,
memiliki kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang sama, karena kesemuanya
berasal dari keturunan yang sama, yakni Nabi Adam.[2]
Kata
ini pun sebutan orang luar yang diberikan kepada kelompok pengikut Samin dengan
menisbatkan kepada kelompok pengikut Samin dengan menisbatkan kepada pendiri
ajarannya yang bernama Samin.
Konon,
pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan ini, mereka lebih suka disebut “wong sikep” yang berarti “laki-rabi” (kawin). Kenapa kawin?
Karena kondep perkawinan bagian dari titik tolak ajaran mereka. Menurut mereka,
dari sebuah perkawinan antara dua manusia yang berlawanan jenis inilah
terjadinya dunia ini. Untuk mengukur apakah seseorang pengikut ajaran Samin
atau bukan, terlihat dalam menjalankan “sikap
rabi kukoh wali Adam” .[3] Oleh karena itu yang paling populer adalah Samin atau Sikep, pengikutnya sering
dijulukin “Wong Sikep” atau “Wong Samin”.
B.
Latak Peta Geografis Masyarakat Samin
Sumber:
migas.bisbak.com
Kabupaten Blora terletak di antara 111°016' - 111°338' Bujur Timur dan
di antara 6°582' - 7°248' Lintang Selatan. Di sebelah Utara Kabupaten ini
berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, di sebelah Timur dengan
Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), di sebelah Selatan Kabupaten Ngawi (Jawa
Timur) dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Grobogan. Luas wilayah Kabupaten
Blora adalah 1.820,59 km 2 atau sekitar 5,5 % luas wilayah Propinsi Jawa
Tengah. Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Randublatung seluas
211,13 km 2 edangkan Cepu dengan luas wilayah 49,15 km2 merupakan Kecamatan
tersempit.[4]
C. Profil Masyarakat Samin
Masyarakat
Samin mempunyai norma tersendiri yang digunakan dalam menjalin kehidupan
bersama. Norma-norma tersebut diturunkan nenek moyang. Sampai sekarang norma
tersebut masih dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[5] Salah
satu norma yang dapat dicontoh adalah norma kejujuran. Masyarakat Samin
mengedepankan kejujuran yang dapat dilihat dari perkataan maupun perbuatan.
Selain
kejujuran juga terdapat kebersamaan. Kebersamaan ini bisa dilihat dari
penyambutan tamu yang berkunjung ke masyarakat samin. Dalam penyambutan tamu,
mereka bersikap ramah-tamah dan memberikan jamuan berbagai macam makanan tradisional.
Selain itu dalam
masyarakat Samin, terdapat norma mengenai pernikahan.[6]
Pernikahan yang boleh dilakukan hanya sekali seumur hidup, artinya tidak ada
cerai dan polygami. Tetapi apabila salah satu pasangan telah meninggal maka
diperbolehkan untuk menikah lagi.
Norma-norma
umum seperti larangan berjudi, larangan mencuri dan norma norma lainnya masih
tetap berlaku di masyarakat samin. Bahkan melekat kental dalam diri mereka.
Apabila ada yang melanggar aturan-aturan dan norma, sanksi yang diberikan berupa
teguran agar orang yang melanggar tidak mengulang perbuatan itu lagi.
Masyarakat diwilyahah kabipaten Blora ini sangat unik. Mereka
memiliki ciri khas yang sangat berbeda dengan kemajuan industri yang melanda
Indonesia kini, di mana masyarakatnya masih sangat menjunjung nilai-nilai
warisan nenek moyang sampai saat ini.[7]
D.
Asal Usul Masyarakat Samin dan Perkembangannya
Ada banyak versi mengenai asal-muasal
munculnya ajaran Samin dintaranya;
a.
Sumber menyebutkan, ajaran Samin diseberkan
oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atauatau Surantiko samin,
disebut pula Surontiko Sami.[8]Para
pengikut yang mengkultuskannyamengatakan bahwa Suransentiko Samin adalah “wong tiban” atau orang yang tidak
diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya, Bahkan diantara pengikutnya
ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko samin masih hidup.
b.
Sumber lain
menyebutkan Suresentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten
Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan Pangeran Kusumaningayu
dari Kerajaan Pajang. Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren ±30 meter
dari Blora.[9]
c.
Pendapat lain
mengatakan, Surosentiko Samin adalah keturunan salah seorang pengikut Pangeran
Diponerogo yang melarikan diri ke daerah Blora karena di kejar-kejar Belanda.
Ketika kolonial Belanda menangkap dan membuang Pangeran Diponerogo, Samin
meneruskan perjuangan tersebut dengan hidup di hutan-hutan. Di hutan-hutan
inilah dia banyak bertapa (tirakat). Pada suatu hari, ketika ia sedang bertapa
(tirakat), konon ia akan mendapatkan buku yang berkhasiat, yaitu “Kalimo Sodo”.[10]
Buku
Kalimasada ini merangkul ajaran-ajaran yang pada kemudian hari disebarkan
kepada sanak famili dan masyarakat sekitarnya diantaranya;
a. Serat
Punjer Kawitan, berkaitan
dengan ajaran tentang
silsilah raja raja Jawa, adipati-adaipati wilayah Jawa Timur dan penduduk
Jawa.
b. Serat
Pikukuh Kasejaten, ajaran
tentang tata cara
dan hukum perkawinan yang dipraktikan
oleh masyarakat Samin.
c. Serta
Uri Uri Pambudi, berisi
tentang ajaran perilaku
yang utama terdiri dari
ajaran: Angger-angger pratikel (hukum tingkah
laku), Angger-angger Pangucap (hukum
berbicara), Angger-angger Lakonono (hukum yang harus dilakukan).
d. Serat
Jati Sawit, buku
yang membahas tentang
kemulian hidup sesudah mati (kemulian
hidup di akhirat).
e. Serat
Lampahing Urip, buku
yang berisi tentang
primbon yang berkaitan dengan
kelahiran, perjodohan, mencari
hari baik untuk seluruh kegiatan aktivitas kehidupan.[11]
Proses
penyebaran ajarannya disampaikan dari mulut ke mulut dari pada
peristiwa-peristiwa penting, misalnya pada Surosentiko Samin menikahkan anak
perempuannya yang bernama Samiyah dengan Surokidin. Menurut cerita, ketika
berlangsung pesta pernikahan anak Samin, terjadi peristiwa hujan lebat hingga
banjir, bagi mereka yang mempercayai ajaran Samin, terhindar dari genangan air,
sedangkan bagi mereka yang tidak mempercayainya ajarannya, terkena air hujan
dan basah kusup. Dari peristiwa itulah orang-orang sekitarnya banyak yang
berminat mengikuti ajarannya hingga berkembang keluar daerah, meliputi daerah
Bapangan, Kunduran, Meden, Bandul, Wirosari Klopoduwur, Ngawi, dan lain-lain.
Salah
satu faktor mengapa kepercayaan ini mudah diterima sebagian masyarakat adalah
karena konsep ajarannya yang sederhana, seperti penekanan pada persamaan
manusia,kerukunan, sikap gotong royong kejujuran dan hidup sederhana, ditambah
lagi dengan sederhana,ditambah lagi dengan hidup Suransentika Samin yang jujur,
bersahaja, dan suka menolong sesama merupakan model yang menarik bagi
masyarakat untuk mengikuti dan mengaguminya.[12]
Semakin
hari semakin banyak pengikutnya, penerimaan pengikut diatur sedemikian rupa.
Jika ada pengikut baru, diadakan upacara penerimaan dan di haruskan bersumpah
setia menurut ajaran samin gurunya (dibaiat). Karena pengikut dari daerah pun
semakin banyak, maka dibukalah berbagai perwakilan yang di anggap”tertua”.[13]
Ciri
khas dari komunitas Samin adalah pemberontakannya pada penguasa Belanda. Mereka
menolak membayar pajak dan membangkang pada aparat keamanan. Telrbih ketika
Surasentika Samin diproklamirkan sebagai Ratu Adil oleh Surowiryo, seorang
Carik Desa Medalem yang kemudian diangkat menjadi Patih. Akibat pemberontakan
terhadap penguasa Belanda itu, pendiri ajaran Samin dan beberapa orang pemuka
masyarakat Samin ditangkap oleh para penguasa, seperti Surosentiko Samin (Ploso
Kediren), Surowiryo (Medalem), Saryani (Klupang, Randublatung), Ronodikmoro
(Nggondel), Kamituwa Tengklik (Ploso Kederi).[14]
Mereka
diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan deklarasi adanya Ratu Adil dan
Patih. Tetapi pengadilan itu macet dan menghasilkan keputusan apa-apa karena
Surosentiko Samin mengelak dan memberikan argumentasi :
“Dadi Ratu naning ratune bojone dewe, dadi patih yo patih bojone
dewe” (Jadi raja bukan raja suatu negara,
akan tetapi raja dari isterinya sendiri. Demikian pula jadi patih, ya patih
untuk isterinya sendiri).[15]
Tetapi
penguasa Belanda tidak berhenti mengawasi Samin sampai situ, mereka terus
mencari-cari kesalahan Samin dan pengikutnya, sehingga Samin di penjarakan di
Rembang selama 1 tahun, kemudian dikirim ke Jakarta dan selanjutnya bersama
Kramamanggala dan Singotirto dikirim ke Lubuk Lagan, Padang, Sumatera Barat.
Carik Surowiyro, Kamituwo Tangklik dan Kitokromo ke lampung Banjar, Manado.
Sedangkan Sarejo, Saryati dan Ronodikrono dibuang ke Bengkulu. Setelah 8 tahun
lamanya Sorosentiko Samin dalam pembuangan, ia pun meninggal dunia.[16]
Sepeninggal
Surosantika Samin, pusat pimpinan penyabaran ajaran Samin berpindah ke desa
Ploso Kediren ke desa Tanduran, kecamatan Kedung, Tuban,Cepu yang dipimpin oleh
Surokidin, menantunya Samin, karena mereka sangat meyakini kebenaran ajarannya.
Meskipun
tidak lagi dipimpin oleh Surosentiko Samin, komunitas Samin tetap tidak mau
berkompromi dengan Belanda, menolak menjalankan perintah-perintah Pamongpraja
dan alat negara tidak mau membayar pajak, membantah bekerja rodi, sehingga
diantara mereka banayak yang dikenakan hukum, dikenai denda dan dirampas hak
miliknya.[17]
Keadaan
demikian baru berubah setelah datangnya pemerintah Jepang. Mereka menganggap
pemerintah Jepang akan membawa keadilan. Oleh karena itu, mereka pun mentaati
peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pemerintahan Jepang. Sikap seperti
ini berlaku sampai diproklamasikannya Kemerdekaan RI, ditambah gencarnya
usaha-usaha pemerintah RI agar masyarakat tidak terisolasi dengan masyarakat
lain.
E.
Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Masyarakat Samin
a.
Agama
Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane
wong lanang”. Mereka sering mengatakan,
“aku iki wong,agamaku Adam, jenengku lanang, Adam itu pengucapanku”, dari
Adamlah asal dari kehidupan dan kematian, dan segalanya berasal dari Dia.[18]
b.
“Cilik” (masa
kecil).”aku iki wong, agamaku Adam,
jenengku lanang”
Adam
Cilik ada tiga macam:
1.
Adam timur,
yaitu anak kecil
2.
Adam Brai,
yaitu seseorang yang sudah memasuki akil balig
3.
Adam Tungu,
yaitu seseorang yang akan memasuki perkawinan, tinggal menunggu akad.[19]
c.
“Gede” (Besar
memasuki perkawinan dan seterusnya). Bagi laki-laki “aku wong sikep, kukoh wali Adam” (Aku orang sikep, kekuatan wali
Adam). Bagi perempuan “Aku wong Adam, jenengku
wedok” (saya keturunan Nabi Adam, namaku perempuan).
Selain itu mereka membagi agama
pada:
1.
Agama Adam Kawitan (permulaan)
Dalam
agama kawitan ini dikemukakan, Adam diciptakan oleh Sang Hyang Tunggal, yang
perwujudannya dianggap dewa, kemudian dari diri Adam keluar sang wanita sebagai
pasangan, dari Adam dan pasangannya dengan “pengucapnya” timbul segala-galanya.
Adamdisebut dewa, tetapi Adam adalah orang seorang yang juga setiap orang. Jadi
Tuhan diri sendiri.
2.
Ketuhanan
Pada
dasarnya acara berfikir mereka amat bersahaja, mereka hanya mempercayai dan
mereka sesuatu yang dapat ditancap oleh panca indera. Hal-hal gaib, seperti
Tuhan, Malaikat, Jin, Syetan tidak dipercayainya. Meskipun demikian tidak dapat
dipastikan, apakah mereka itu percaya Tuhan atau tidak. Sebab pada hakekatnya,
jika mereka melangsungkan perkawinan, ikatan janji sebuah perkawinan akan di
anggap syah bila menunjukan jari keatas kebawah, ke langit (Bapak Kuasa) dan
bumi (bumi pertiwi). Yang dianggap Tuhan itu di sebut “Yahi” atau “Sang
Ngayahi” (yang melaksanakan), dan memberikan segala-galanya termasuk memberi
hidup dan mati.[20]
3.
Manusia dan Kehidupan Alam Dunia
Menurut
ajaran Samin, dunia ini hanya satu urip (hidup). Segala sesuatu yang
menampakkan diri tidak lebih dari perwujudan hidup. Ia dapat wujud orang,
hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.[21]
Semuaperwujudan ini dapat disimpulkan dalam kategori, yaitu 1) manuai (wong),
2)sadang papan. Segala sesuatu yang dapat digunakan adalah sadang. Sesuatu yang
di makan adalah pangan. Selain pada sadang-pangan tadi hanyalah “manusia”.
Manusia
pertama adalah Bapak Adam yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu
Pertiwi (bumi). Kamudian dengan kekuatan yang ada pada Adam dia mengheningkan
cipta dan lahirnya Ibu Hawa (hawaning
fikir).[22] Dalam
penyatuan tubuh keduanya (sikep laki
rabi) lahirlah seorang puteri. Puteri tersebut dilamar oleh empat orang
yang bernama lor, kidul, wetan, dan kulon. Kemudian Adam menciptakan tiga
orang puteri lagi yang sama rupa yang bentuknya sama dari binatang kerbau,
macan, dan kucing. Dalam “sikeplaki rabi”
(perkawinan dan peyatuan antar lawan jenis) terciptalah umat manusia dan
kemudian berkembang dengan bermacam sifat dan karakternya.
Semua
aktifitas hidup manusia ditunjukan pada dua hal. Pertama, tatane wong (menciptakan manusia). Jika malam hari tiba,
tugas manusia adalah melakukan hubungan seksual. Dalam dua hal ini terdapat
pembagian tugas antara tugas suami dan isteri. Suami bertugas memenuhi
kebutuhan sadang-pangan. Sementara istri bertugas melahirkan sekaligus
merawatnya. Kedua, tata anggota,
yakni segala kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sadang-pangan.[23]
Diantara
kedua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa
adalah manusia “wong”.
Lalu,
siapa yang disebut manusia oleh ajaran Samin? Yang disebut manusia (wong) oleh karena ajaran Samin itu
adalah orang yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang
menyebutnya “wong Jawa”.[24]
Wong Jawa disini tidak diartikan secara harfiah orang Jawa yang berkaitan
dengan salah satu suku bangsa di Indonesia, tetapi wong Jawa itu berarti jujur,
tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain,
dan tidak suka mencuri yang dapat merupakan orang lain.
Agar
seseorang menjadi manusia (wong),
maka orang tersebut harus malakukan praktek hidup dan tingkah laku (kelakuan) yang dijalani sepenuh hati.
Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh),
menghina (nginoh sapa-pada), iri hati
(dahwen-kemiren),mencuri, mengutil
dan sebagainya. Sementara sikap gotong royong dan rasa sosial sangat ditekankan
pada konsep ajaran mereka, hal ini terlihat pada ajaran: [25]
-
Bergantian
untuk saling tolong menolong antar saudara (Urute
sandang pangan karo sanak sedulur)
-
Jika berhutang,
harus dikembalikan sesuai dengan macam dan jumlahnya yang sama seperti pada
waktu meminjamnya. (Urute utang sebawon
balik sebawon,setali balik setali, serupiah balik serupiah). Mereka sangat
menentang rente atau riba.
-
Tepat janji (kukoh waten)
-
Bagi mereka
yang namanya janji harus ditepati. Jika ragu-ragu untuk menepati, mereka tidak
mudah berjanji
-
Jika menuai
padi harus dibagi empat (yen nderep pari
mrapat, bawon ndok enggon). Sebagian untuk biti (benih), sebagian untuk
dimakan (sandang-pangan), separuh untuk biaya yang mengerjakan, dan sebagian
lagi kepada buruh penuai di tempat dan pada saat itu juga.
4.
Partikel
Partikel
padaajaran Samin adalah sikap dan pedoman batin untuk memperoleh kesiapan dalam
melaksanakan praktek hidup (kelakuan)
seperti yang diajarkan diatas, dengan kesungguhan dan keyakinan bahwa apa yang
dilaksanakan dan dipraktekan adalah benar adanya (tanpa ngiloh ngiwo nengen).[26]
Kalau
sudah demikian, yakni orang yang sunggu-sungguh sudah melaksanakan kelakuan dan
partikel, maka orang tersebut baru dianggap sempurna sebagai (“wong”).
5.
Jiwa
Jika
seseorang yang menjadi hidup itu hanya satu. Oleh karena itu umur manusia juga
satu. Penggunaan Jiwa oleh raga yang disebut “sandangan” bisa dihitung, entah
setahun, seratus tahun atau berapa pula lamanya. Raga bila sudah ditinggalkan
jiwa disebut “mayat”, tidak lagi disebut manusia “wong”.[27]
F.
Upacara Keagamaan Dalam Masyarakat Samin
a.
Khitan
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal tradisi khitan atau
sunat. Mereka mempunyai pandanga, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak
lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan
sehari-hari, seorang laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi“ juga
disunat sebagiamana laki-laki yang beragama Islam.[28]
b.
Perkawinan
Bagi orang Samin atau sikap, seperti yang sudah disebut di atas, perkawinan
merupakan hal yang sangat penting yang dianggap sebagai pangkal tolak ajaran
Samin.[29]
Karena dengan perkawinan antar lawan jenis harus didasarkan atas
suku sama suka (pada demene). Mereka
tidak memperbolehkan adanya pemaksaan dalam perjodohan, peran orang tua hanya
tinggal merestui menjadi saksi bahwa perkawinan itu harus berlangsung hingga
seumur hidup. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan
peminangan dari calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima, calon
mempelai laki-laki di antarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin
perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh)
dan hidup bersama dengan calon pengantin perempuan agar hidup “rukun”
(melakukan hubungan seksual). Hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan
ini disebut juga sebagai “magang” (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar
bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon
mertua untuk siap mengawini mempelai laki-laki menghadap calon mertua untuk
siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini
laki-laki itu berhasil menggauli si perempuan, apabila pihak perempuan
menyatakan tidak suka atau ora demen,maka
perkawinan ridak bisa dilaksanakan.
Setelah keduanya merasakan suka sama suka (podo demen), orangtua kedua belah pihak mendatangi Kepala Desa
setempat untuk mengadakan semacam ijab kabul dengan mendatangkan saksi-saksi.
c.
Larangan Perkawinan
Yang dimaksud larangan perkawinan bagi ajaran Samin di sini adalah
perkawinan tersebut tidak sah jika mereka mengawini keluarga sedarah[30]
(ada hubungan keturunan), saudara sekandung, keluarga semenda, keluarga sepupu
(satu nenek) saudara dan anak angkat disamping itu suatu perkawinan tidak
dapata dilaksanakan jika terjadi besan
rangkap (besan yang sama).
d.
Perceraian
Karena
perkawinan dalam masyarakat Samin merupakan ajaran yang fundamental, dan di
dasarkan pada pedoman satu untuk selamanya, maka perkawinan tidak boleh terputus
atau terjadi perceraian, terkecuali kematian.[31]
Adapun
perkawinan dalam masyarakat Samin dengan yang bukan pengikut Samin pada
Prinsipnya tidak dilarang, asalkan calon pengantin, baik laki-laki maupun
perempuan yang bukan Samin bersedia menyesuaikan diri dengan ajaran adat
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Samin.
e.
Kematian
Sebagimana telah di singgung di atas, hakekat hidup (urip) itu hanya satu sekali untuk
selama-lamanya. Bila seseorang meninggal, menurut mereka hal itu hanya berganti
pakaian (salin sandangan), sedang
jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru.[32]
Jadi,
manusia itu tidak akan pernah mati, yang mati dan rusak hanya jasadnya semata.
Orang yang salin sandangan di
kemudian hari akan melanjutkan hidup dengan mengenakan jasad yang lain. Jika
dia orang baik, akan hidup menjadi orang baik. Jika dia jahat, maka akan
menjadi hewan atau orang lain. Disini nampaknya ada keprcayaan reinkarnasi dalam konsep ajaran agama
Hindu.
Selain
itu, mereka percaya adanya hukum karma. Yaitu setiap manusia akan mendapatkan
balasan yang setimpal dengan tindakannya, jika baik akan mendapat balasan baik,
jika buruk akan mendapat balasan yang buruk pula.[33]
Mayat
yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum dikubur dimandikan,
dibungkus dengan kain kafan, kemudian dikubur menghadap kearah Utara Selatan,
menghadap ke Barat, kemudian diberi nisan.
f.
Warisan
Jika
orang tua seseorang meninggal, harta peninggalannya harus di wariskan kepada
anak-anaknya secara merata di bawah pimpinan anak sulung. Biasanya, harta yang
berada di dalam rumah, seperti perabotan rumah tangga, perhiasan yang berupa
emas dibagi-bagikan kepada anak perempuan. Sementara anak laki-laki mendapatkan
bagian harta yang terdapat di luar rumah, seperti sawah, ladang, ternak, dan
lain-lain.
g.
Adopsi (Mengangkat Anak)
Dalam
masyarakat Samin ada tradisi mengangkat anak (adopsi). Tujuan pengangkat anak
ini bisa bermacam-macam. Misalnya:
1.
Menolong sebuah
keluarga yang terlantar
2.
Memancing
(pengareh) agar supaya dikarunia anak
3.
Untuk menemani
anak kandung seseorang
4.
Untuk memenuhi
sumpahnya (Ngluari ujar)
5.
Untuk
melanjutkan ahli waris atau keturunan, dan sebaginya.[34]
Di
antara bermacam-macam tujuan pengangkatan anak ini yang paling penting adalah
untuk menjadi ahli waris dan melanjutkan keturunan. Karena bagi masyarakat
Samin seorang anak angkat itu mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban serta
pembagian waris yang sama dengan anak kandung.
Pengangkatan
anak ini diambil dari kerabat, sanak famili, keluarga miskin dan yatim piatu.
Bagi anak yang mempunyai orangtua, ia harus meminta persetujuan orangtuanya dan
ia harus menyatakan kesediannya kepada calon orang tua angkatnya. Tapi jika
masih bayi, cukup hanya dengan persetujuan orangtuanya. Setelah di setujui,
diadakan ucapan selamatan peresmian.[35]
G.
Etika dalam Masyarakat Samin
Agama
samin mempunyai watak dan karakter yang menonjol dari masyarakat samin adalah:
-
Masyarakat
Samin memegang teguh janji dan menempatinya (kukoh janji). Mereka pntang sekali
mengingkari janji. Oleh karena itu, masyarakat Samin jarang sekali berjanji dan
sangat berhati-hati jika merekatakut tidak mampu menepatinya.
-
Masyarakat
Samin mempunyai sikap jujur dan sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang
mengagumkan dan pantang sekali untuk berdusta.
-
Masyarakat
Samin mempunyai sifat sabar dan tidak suka kekerasan. Masyarakat Samin memiliki
kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking sabarnya mereka tampak dingin dan tak
acuh. Mereka tidak suka kekerasan, pertengkaran dan pertentangan. Jika ada
masalahdiselesaikan dengan jalan musyawarah dan dengan cara berdamai.
-
Masyarakat
Samin mempunyai sifat ikhlas.
-
Masyarakat
Samin sangat santun dalam menerima tamu. Walaupun mereka tidak banyak bicara
tetapi mereka sangat menghormati tamu, bahkan tetangga dekatnya punkerapkali
ikut menemani. Dalam penghormatan kepada tamu, ada usaha untuk menjamu yang
disajikan dengan senang hati.[36]
a.
Sikap kerukunan
dan gotong royong
Masyarakat
samin merupakan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi sikap gotong royong dan
kerukunan.[37]
Sikap gotong royong ini mereka lakukan dalam berbagai hal, seperti:
-
Dalam menggarap
tanah pertanian;
-
Dalam pendirian
rumah;
-
Upacara
selamatan, seperti khitan, perkawinan dan lain-lain;
-
Tolong menolong
bagi mereka yang tidak mampu.
b.
Bahasa dan
songkok
Bahasa
yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat samin adalah bahasa
jawa yang memiliki arti dan terminologi tersendiri, yang berbeda dengan bahasa
jawa pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu cara yang mudah untuk mengenal
masyarakat samin adalah melalui percakapannya sehari –hari. [38]
H.
Interaksi Masyarakat
Komunitas
Samin merupakan bagian dari masyarakat desa Klopoduwur yang menganut dan
mempertahankan ajaran Samin Surosentiko. Komunitas Samin mempunyai tata cara,
adat istiadat, bahasa serta norma-norma yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya.[39]
Dalam kajian ini penulis menjelaskan tentang bentuk interaksi sosial antara
komunitas Samin dengan masyarakat sekitar desa Klopoduwur, faktor-faktor yang
mempengaruhi interaksi sosial antar komunitas Samin dengan masyarakat desa
Klopoduwur dan kendala yang dihadapi dalam interaksi sosial. Hasil kajian
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial antara komunitas Samin dengan
masyarakat sekitar berupa kerja sama, akomodasi dan asimilasi. Sedangkan
konflik atau pertentangan dalam interaksi sosial antara komunitas Samin dengan
mayarakat sekitar desa Klopoduwur tidak tampak jelas.
Interaksi
sosial antara komunitas Samin dengan masyarakat sekitar dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yakni situasi sosial, kekuasaan norma kelompok, tujuan
pribadi, kedudukan dan kondisi individu serta penafsiran situasi.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam interaksi sosial antara komunitas Samin
dengan masyarakat sekitar adalah perbedaan bahasa yang sulit dipahami oleh
masyarakat sekitar,dan adanya perbedaan nilai antara kedua kelompok sosial
tersebut.[40]
Pengertian
interaksi sosial adalah
suatu hubungan antara 2
individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah,
atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain
atau sebaliknya. Seiring adanya interaksi yang
dilakukan oleh masyarakat
Samin di Desa
Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten
Pati dengan masyarakat
luar Samin maka
tanpa disadari identitas Samin
yang dahulu sangat
khas dibandingkan dengan
masyarakat lain.[41]
baik
secara berpakaian, bentuk
rumah, pola mata
pencaharian, bicara (bahasa),
adat istiadat, nilai-nilai,
norma-norma, bahkan agama
pun mengalami perubahan atau pergeseran
yang sekarang ini telah menjadi
seperti masyarakatpada
umumnya (masyarakat non-Samin). Masyarakat berada
dalam proses perubahan, begerak secara
dimanis mengikuti pola tertentu berdasarkan
faktor-faktor yang melingkupinya,hal yang
seperti itu telah terjadi pada masyarakat
Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten
Pati.[42]
Di era modernasi
ini rentan sekali
masuknya nilai-nilai, norma,
bahkan
ideologi baru yang secara mudah masuk kedalam
masyarakat ataupun komunita--komunitas
yang bersifat primitif, masuknya
hal tesebut melalui
media massa seperti acara ditelevisi,
internet yang sekarang
ini sudah ada
diseluruh pelosok negeri tanpa
terkecuali. Maka di
era modernisasi ini
banyak berdampak pada perubahan baik di
segi sosial, pemikiran,
identitas maupun keyakinan,
dampak dari perubahan itu ada yang diterima dengan baik ada juga yang
diterima dengan tidak baik yang berujung dengan terjadinya konflik antara
masyarakat yang masih memegang teguh ajaran, nilai-nilai, norma-norma,
ideologi yang dimiliki dengan yang
menerima modernisasi.[43]
Masyarakat
Samin walaupun telah berusaha
untuk tetap mempertahankan identitas dan
tradisi, namun demikian
terdapat beberapa identitas
masyarakat Samin yang telah
berubah yang meliputi:
identitas diri, paham
keagamaan, dan keyakinan terhadap
Tuhan. Sedang tradisi
Samin yang berubah
adalah di sekitar upacara perkawinan
dan kematian. Bagi
generasi tua Samin
yang masih memegang kuat
ajaran Samin dan
bangga akan identitas
dirinya sebagai orang Samin biasanya ditunjukan melalui symbol-simbol
seperti tata cara berpakain. Ini sangat
berbalik dengan generasi
muda yang identitas
diri sebagai Samin cenderung mulai ditinggalkan dan
bahkan sekarang anak-anak muda Samin agak malu dan terkeasan marah jika
dikatakan sebagai keturunan Samin. Sangat sedikit dari angkatan muda ini yang
memakai sebutan “wong Samin”, dan
sebaliknya mereka lebih bangga kalau disebut masyarakat santri.
Modernisasi ditandai
dengan terbukanya masyarakat
Samin terhadap budaya luar
maupun masyarakat luar,[44] dengan
adanya interaksi yang
dilakukan oleh masyarakat Samin telah
mengalami perubahan pada seluruh
sisi kehidupan, tak terkecuali
pada masyarakat Samin yang
sangat kuat memegang
ajarannya, namun pengaruh modernisasi
telah membawa masyarakat
Samin kearah perubahan sosial
yang signifikan.
Melihat
fakta yang terjadi
di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati yang
mayoritas komunitas Samin.
Namun untuk
mengindentifikasikan bahwa mereka
itu masyarakat Samin
atau tidak sangatlah sulit,
karena secara sekilas mereka seperti masyarakat pada umumnya baik pada
generasi muda ataupun
generasi tua yang
memakai pakaian yang
bisa dibilang modern dibanding
dengan pakaian lokal
Samin ada pula
sebagian dari mereka yang
menggunakan alat-alat yang
canggih seperti handphone,
komputer dan layanan internet.
Namun ada pula
sebagian dari mereka
yang masih mempertahankan ajaran
Samin baik dari
segi pakaian, adat
istiadat, bentuk bangunan rumah
yang masih mereka
pegang kuat, itu merupakan
bentuk dari berubahnya atau
bergesernya identitas pada masyarakat Samin.
Rencana
pembangunan pabrik semen di Desa Sukolilo, sebagian masyarakat menentang
pembangunan pabrik itu pada
saat aksi menetang
pembangunan pabrik itu
yang dilakukan di
depan kantor Bupati
Pati.[45] Apa
yang terjadi mereka beraksi
yang menggunakan identitas
“Samin” sebagai motor penggerak aksi penolakan itu.
I.
Lampiran
Rumah adat masyarakat sami Pendiri
Suku Samin
Acara Pernikahan Pakaian
Adat Suku Samin
DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Indah Puji, “Interaksi
Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5
No.1, 2013.
Afia, Neng Darol. Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI. Tradisi dan
Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: 1999.
http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-samin.html
http://eprints.ums.ac.id/4947/1/D300050008.PDF
http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
http://bojonegoroselatan.blogspot.com/2015/02/masyarakat-suku-samin-di-kabupaten.html
https://saminist.wordpress.com/
http://berita.maiwanews.com/suku-samin-hidu-tanpa-prasangka-dan-anti-kekerasan-25363.html
[1]
http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-osing-jawa.html diakses pada tanggal 19 April 2016 pukul 20:08
Wib.
[2]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 29.
[3]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 30.
[4]http://eprints.ums.ac.id/4947/1/D300050008.PDF diakses
pada tanggal 22 April 2016 pukul 17:00 Wib
[5]
http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00
Wib.
[6]
http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses
pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00 Wib.
[7]
http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses
pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00 Wib.
[8]
Neng Darol Afia. Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 30.
[9]
http://berita.maiwanews.com/suku-samin-hidu-tanpa-prasangka-dan-anti-kekerasan-25363.html diakses pada tanggal 19 April2016 pukul 20:10
WIb.
[10]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 31.
[11] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.
[12]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 31.
[13]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[14]
http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-samin.html diakses pada tanggal 19 April 2016 pukul 21:00
Wib.
[15]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[16]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[17]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 33.
[18]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 33.
[19]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 34.
[20]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI: 1999). Hal. 34.
[21]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[22]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[23]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[24]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 36.
[25]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 36.
[26]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[27]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[28]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[29]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 38.
[30]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 38.
[31]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[32]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[33]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[34]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 40.
[35]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 40.
[36]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal.41
[37]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 41
[38]
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999). Hal. 42.
[39]
Lestari, Indah Puji, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat
Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013, h.73
[40]
Indah Puji Lestari, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat
Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5
No.1, 2013, h.74.
[41]http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 19 April pukul 19:00 Wib.
[42]
Lestari, Indah Puji, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat
Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013, h.74
[43]
http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 19 April pukul 19:00 Wib.
[44] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.
[45] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada
tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.
0 komentar:
Posting Komentar