AGAMA
TRADISIONAL ORANG NIAS
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata
Kuliah Agama-Agama Lokal
Oleh
Ariani Barroroh Baried
(11140321000027)
Salwa Anwar
(11140321000021)
Chairul Anam
(11140321000042)
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
PEMBAHASAN
Suku bangsa ini mendiami pulau Nias yang terletak disebelah barat pulau
Sumatra. Bersama beberapa pulau kecil disekitarnya, daerah ini sekarang termasuk ke dalam wilayah kabupaten Nias provinsi
Sumatra Utara. Penduduk asli pulau itu menamakan diri mereka ononiha artinya
“anak manusia”, dan menyebut pulau mereka tanoniha, artinya
“tanah manusia”. Jika jumlah penduduk kabupaten Nias tahun 1975 adalah 416.046 jiwa,
maka sekitar 410 ribu diantaranya adalah orang Nias. Pada tahun 1983,
populasi suku bangsa ini diperkirakan berjumlah sekitar 480 ribu jiwa. Sedangkan yang
lain para pendatang, seperti orang Batak, Aceh, Minangkabau, dan Cina.[1]
Bahasa Nias termasuk dalam rumpun Bahasa
Austronesia. Bahasa ini tersebar sampai ke kepulauan batu di sebelah selatan pulau Nias. Diantaranya terdapat 4 dialek, yaitu dialek nias utara,
nias tengah (gomo), nias selatan (teluk dalam), dan dialek batu.
Kelompok keluarga terkecil atau keluarga inti dalam bahasa Nias disebut sangambato. Beberapa keluarga inti membentuk keluarga luas terbatas
yang disebut sang ambatozebua. Prinsip hubungan keturunannya bersifat patri lineal
dan biasanya setiap keluarga luas tinggal bersama-sama dalam sebuah omo atau rumah. Akan
tetapi masing-masing keluarga inti memiliki dapur sendiri. Beberapa sang ambatozebua
yang berasal dari satu kakek moyang yang sama tergabung ke dalam sebuah mado (di Nias utara dan Nias tengah) atau gana (di Nias selatan), yaitu semacam klan atau marga
patri lineal. Seorang anak yang akan nama mado ayahnya dibelakang nama kecilnya.
Orang-orang dari satu mado bisa saling kawin, asal ikatan kekerabatan mereka telah sampai tingkat
10.
Orang Nias hidup berkelompok dalam kampong-kampung yang
mereka dirikan di atas bukit dan di pagari dengan batu atau aurberduri. Kampong
itu mereka sebut banua, dipimpin oleh seorang siulu atau bangsawan yang
mereka sebut tohenori atau salawa (raja).
Pada zaman dahulu, orang Nias mengenal beberapa pelapisan sosial yang cukup tajam. Di Nias selatan, misalnya,
dikelas-kelas sosial, seperti siulu (bangsawan), ere (pendeta agama asli),
onobanua (anak negri atau orang kebanyakan), dan golongan sawuyu (budak). Golongan siulu
yang memerintah,
misalnya diangkat menjadi kepala desa disebut balo siulu. Sedangkan anak negri dapat pula
dibagi menjadi golongan siila (cerdik, pandai) dan sato (orang kebanyakan).
Golongan sauyu dibagi pula menjadi tiga, yaitu binu (budak karena kalah perang, biasanya dikorbankan untuk upacara),
dan holito
(menjadi budak setelah ditebus dari hukuman mati). Pengaruh pengelompokan sosial diatas masih terasa sampai sekarang,
karena golongan siulu misalnya tidak boleh kawin dengan sato.
Sementara itu golongan sawuyu sekarang sudah tidak ada lagi.
Mata pencaharian utama orang Nias adalah berladang dengan tanaman ubi jalar, ubi kayu, kentang, dan sedikit padi. Mata
pencaharian tambahannya adalah berburu dan meramu. Pada masa kini di pulau ini ditanam
orang pula cengkeh dan semak nila muntuk diambil minyaknya. Selain itu banyak pula diantara mereka
yang berkebun kelapa dengan lahan yang luas-luas.
Pada zaman dahulu, Nias pernah mencapai tingkat budaya megalitik yang
mengagumkan. Hasil karya budaya batu itu sampai sekarang masih ditemui sisa-sisanya,
seperti meja dan kursi batu, tugu-tugu dan arca arwah serta omohada (rumah adat) yang
didirikan diatas batu-batu besar pipih dan dengan tiang-tiang kayu besar, penuh pula
dengan ukiran-ukiran kuno.
Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam. Agama asli mereka disebut maloheadu
(penyembah roh) yang didalamnya dikenal banyak dewa, diantaranya yang paling
tinggi adalah lowalangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu,
rumah tempat pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama asli disebut
ere. Pada masa sekarang nama lowalangi diambil untuk menyebut tuhan Allah
dan osali menjadi nama gereja dalam konsep Kristen.[2]
A. Leluhur
Masyarakat Nias
1. Versi
Misionaris Heinrich Sundermann
Chaos (kekacauan awal) – 30 angin
bergabung dan mewujudkan dua pohon. Pohon ke-1: si dumi-dumi, padanya tumbuh
kuntum yang melahirkan: lature dan bekhu saito. Dari lature lahir bahari, dari
bahari lahir afokha, dari afokha lahir bekhu saio. Dari bekhu saito lahir
lafabua, dari lafabua lahir tuha ndraga, dari tuha ndraga lahir wa’o, dari wa’o
lahir nadaogia.
Pohon ke-2: Solambaio nga’eu, padanya
tumbuh tiga kuntum. Kuntum pertama melahirkan Tuha Luluo (Bara si Luluo) dan
Lowalangi. Keduanya melahirkan Baliu. Kuntum kedua berkembang dengan bantuan
Lowalangi sehingga melahirkan seorang manusia yang tidak dapat bergerak dan
berbicara (Si Lo Maliwa-liwa, Si Lo Hede), kemudian Lowalangi menjadikannya
mati.
Kuntum ketiga melahirkan pohon Tora’a
yang melahirkan manusia. Darinya lahir Tuha Nilolo Langi. Dia mendapatkan
kehidupan dari Lowalangi dan mendapatkan noso dari Baliu. Dari Tuha Nilolo
Langi lahir Bara Haomo, dari Bara Haomo lahir Gumbia, dari Gumbia lahir Haomo
Gi’a, dari Haomo Gi’a lahir Tuha Boro Zesolo, dari Tuha Boro Zesolo lahir
Barata Hia dan Lou We. Dari Barata Hia lahir Tuha Garotua Jawa, dari Tuha
Garotua Jawa lahir Ere Fugiu Hola Hola, dari Ere Fugiu Hola Hola lahir Sibegai,
dari Sibegai lahir Ndruru Tano, dari Ndruru Tano lahir Falaroi dan Hulu.
Dari Lou We lahir Tuha Golu Banua,
dari Tuha Golu Banua lahir Tarewe Nauma, dari Tarewe Nauma lahir Hulu Mogia,
dari Hulu Mogia lahir Mange Mohi, dari Mange Mohi lahir Sahuwa Gana’a, dari
Sahuwa Gana’a lahir Sirao.
Dari Sirao inilah lahir Ba’uwodano,
Lakindro, Lou Mawona, Gozo, Langi Sara Ana’a, Hiawalangi, Lahari Sofuso Kara,
Hulu Hada, dan Daeli.
Demikian kiranya asal-usul masyarakat
Nias menurut Heinrich Sundermann yang berdasarkan mite lokal.[3]
2. Versi
Misionaris JW Thomas
Alito
dan Tuha Sihai (Tuha Nihai Hai Nangi) melahirkan satu roh yang bernama Tuha Aloloa
Nangi (arti harfiahnya adalah sisa dari angin), dia meninggal kemudian dari
jantungnya tumbuh satu pohon yang bernama pohon Tora’a. Pada pohon Tora’a
tumbuh 9 kuntum bunga, yaitu 3 kuntum di pucuk, 3 kuntum di tengah, dan 3
kuntum di akar. Tiga kuntum di pucuk melahirkan Lowalangi (Allah), Lature
(bukan roh jahat), dan Nadaoya Afokha (roh-roh jahat). Tiga kuntum di tengah
melahirkan Barasi Luluo (bukan roh jahat), Baliu (bukan roh jahat), dan Feto
Alito (melahirkan roh jahat). Tiga kuntum di akar awalnya tidak melahirkan
sesuatu. Karena hal itu, terjadi pertentangan antara Lature dengan Barasi
Luluwo/Baliu tentang hak kepemilikan. Kemudian keduanya bersepakat bahwa
pemilik yang berhak adalah yang dapat menjadikan mereka manusia. Lature tidak
berhasil. Kemudian Lowalangi mengajak Barasi Luluwo/Baliu untuk mencobanya.
Tetapi dia hanya dapat membentuk tubuh dan jenis kelamin. Lowalangi
memerintahkan Barasi Luluwo/Baliu memgambil sejumlah angin (Samba Fondrugiu:
suatu kuantitas emas yang seharga 42 ringgit) untuk ditiupkan ke dalam mulut
manusia yang sudah berbentuk agar dapat berbicara. Akhirnya, dari proses
tersebut jadilah sepasang manusia pertama, yang bernama Futi (istri) dan Tuha
Barege Dano (suami). Futi dan Tuha Barege Dano (Tuha Ba Wondrege Tano; Tuha
Orudua Zihono) mendiami dunia ke-3. Keturunan merekalah yang kemudian mendiami
dunia lainnya. Dunia ke-4 didiami oleh Golu Mbanua. Dunia ke-5 didiami oleh
Tarewe Kara. Dunia ke-6 didiami oleh Hulumogia. Dunia ke-7 didiami oleh Dundru
Tano dan istrinya, Saota. Dunia ke-8 didiami oleh Sirao. Keturunan Sirao inilah
yang kemudian menciptakan dunia.[4]
3. Versi
Elio Modigliani
Modigliani
membagi masyarakat Nias ke dalam tiga etnis besar, yaitu etnis di utara, etnis
di selatan, dan etnis di barat. Menurutnya, etnis di utara memiliki tubuh yang
lebih kecil dengan otot lemah, berwajah bulat oval dan bermata kecil. Etnis di
selatan memiliki tubuh yang lebih proposional, yaitu bertubuh tinggi dan kuat,
berwajah panjang, dan memiliki mata yang lebar, hitam, menyala, dan kebanyakan
sipit. Etnis di barat (di gunung Buruasi dan di pantai utara Lafau) memiliki
tubuh yang lebih tinggi, rambut yang lebih bergelombang dan sedikit keriting
dari pada kedua etnis sebelumnya, hidung seperti burung elang yang
memperlihatkan profil tajam dengan mata hitam dan kebanyakan horisontal;
seperti orang Aceh. Modigliani menunjukkan bahwa etnis Nias tidaklah berasal
dari etnis batak, melainkan dari Indostan (negeri-negeri di sebelah Timur Laut
India).[5]
4. Penelitian
pada Milenium ke-2
Menurut
Reinhold Mittersakschmoller, masyarakat Nias mengakui bahwa mereka adalah
keturunan dari leluhur yang berbeda-beda. Mereka meyakini dirinya sebagai keturunan
Sirao, Allah Pencipta. Nama kecil mereka adalah Hia, Gozo, Hulu, dan Daeli.
Awalnya, Sirao mengutus anaknya yang bernama Hia ke selatan Nias. Namun karena
barang bawaan Hia terlalu berat, dikhawatirkan Nias akan terjungkir ke dalam
laut. Agar hal itu tidak terjadi, maka Sirao mengutus anaknya yang bernama Gozo
ke sebelah utara. Situasi semakin gawat karena tengah Nias menjadi melengkung
ke atas. Dunia baru seimbang setelah Hulu dan Daeli diutus ke tengah pulau dan
menetap di sana.
Saat
turun ke dunia, anak Sirao yang bernama Hia membawa rumah, alat ukur,
timbangan, dan ukuran babi. Daeli membawa ubi jalar, satu batu asah, dan api.
Hulu membawa tidak membawa barang penting ke dunia, namun kelak dia menduduki
posisi penting dalam kehidupan masyarakat Nias. Posisi ini dia dapat setelah
dia bersin di jendela dan kehilangan kepalanya. Kepalanya tumbuh menjadi pohon
kelapa dan darahnya tumbuh menjadi rerumputan dan pepohonan. Zebua, yang hanya
dikenal di beberapa daerah selatan, menciptakan fungsi-fungsi imam di dunia.
Bagi
masyarakat Nias, Sirao dianggap sebagai tuan di langit ke-8 yang juga disebut
sebagai Teteholi Ana’a (dunia atas yang terdiri dari emas). Sirao memiliki
keturunan laki-laki dari ketiga istrinya. Salah satunya melahirkan Ba’uwo Dano,
Lakindro, dan Luo Mewona. Dan yang lainnya melahirkan Lasore, Gozo, Hia,
Lahari, Daeli, dan Hulu. Ketika Sirao memutuskan untuk mencari penggantinya,
semua putranya ingin menerima jabatan tersebut. Karena itu, Sirao memutuskan
untuk mengadakan kompetisi untuk mencabut sebatang tombak yang dia tancapkan.
Bagi yang berhasil akan menjadi pengganti dirinya. Ba’uwono, anak sulung Sirao,
gagal dan harus pindah ke dunia bawah dan memikul dunia. Putra lainnya, yaitu
Hulu, Daeli, Hia, dan Gozo, juga gagal sehingga harus turun ke dunia dan
menjadi leluhur manusia. Hanya Luo Mewona yang berhasil melaksanakan tugas dari
Sirao, ayahnya, sehingga berhak menggantikan posisi Sirao dan menetap di
Teteholi Ana’a.[6]
5. Versi
James Danandjaja
Mite
ini adalah mite mengenai terjadinya mado-mado di Nias. Mado adalah semacam
marga (patrilineal maximal lineage). Ceritanya dimulai dengan terciptanya alam
dan seluruh isinya oleh Lowalangi. Lowalangi juga menciptakan langit berlapis
sembilan. Setelah selesai menciptakan semuanya itu, kemudian ia menciptakan
sebuah pohon kehidupan yang bernama pohon Tora’a. Pohon itu berbuah dua,
yang setelah dierami oleh seekor laba-laba emas, menetaslah sepasang dewa
pertama di alam semesta yang diberi nama Tuha Mora’a Angi Tuha Mora’a Ana’a
(laki-laki) dan Burutirao Angi Burutirao Ana’a (perempuan). Keturunan sepasang
dewa ini lah yang kemudian mendiami sembilan lapis langit. Untuk menciptakan
sesuatu itu, Lowalangi menggunakan udara diberbagai warna sebagai bahannya.
Warna-warna itu diaduk dengan tongkat yang disebut sihai.
Salah
satu keturunan dewa pertama yang bernama Sirao menjadi raja di langit pertama,
yaitu yang letaknya paling dekat dengan bumi. Nama langit pertama itu adalah Teteholi
Ana’a. Sirao mempunyai tiga orang istri dan dari masing-masing istrinya ia
mendapatkan tiga orang anak laki-laki. Kesembilan anak Sirao bertentangan saat
Sirao ingin mengundurkan diri dari kekuasaannya. Untuk mencegah kekacauan,
Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas mata sembilan tombak,
yang dipancangkan di atas lapangan. Sayembara itu dimenangkan oleh Luo Mewona,
si bungsu, sehingga ia berhak menggantikan ayahnya di Teteholi Ana’a.
Untuk
menentramkan anaknya yang lain, Sirao mengabulkan permohonan mereka untuk
diturunkan ke Tano Niha (tanah manusia). Untuk mengawasi tingkah laku
kakak-kakaknya, Luo Mewona menurunkan Silogu, putra sulungnya, dan Hiambanua
Mandrehe ke Ulu Moro’o, yaitu wilayah di kecamatan Mandrehe, Nias Barat
sekarang.
Dari
kedelapan anak Sirao, hanya empat orang yang dapat diturunkan dengan selamat
dan menjadi mado-mado masyarakat Nias sekarang. Mereka ini adalah:
a. Hiawalangi
Sinada atau biasa disebut Hia saja. Dia diturunkan di Boronadu, kecamatan Gomo,
Nias Tengah, dan menjadi leluhur mado-mado Telaumbanua, Gulo, Mendrofa, dll.
b. Gozo
Hela-hela Dano atau biasa disebut Gozo saja. Dia diturunkan di barat laut
Hilimaziaya, kecamatan Tuhemberua, Nias Utara, dn menjadi leluhur mado-mado
Baeha.
c. Daeli
Bagombalangi atau biasa disebut Daeli saja. Dia diturunkan di Tolamaera, negeri
Idanoi di kecamatan Gunung Sitoli, Nias Timur dan menjadi leluhur mado-mado
Gea, Daeli, Larosa, dll.
d. Huluboronadu
atau biasa disebut Hulu saja. Dia diturunkan di Laehuwa, kecamatan Alasa, barat
laut Nias dan menjadi leluhur mado-mado Ndruru, Bu’ulolo, Hulu, dll.
e. Silogu,
putra sulung Sirao, diturunkan di Nias Barat menjadi leluhur mado-mado Zebua,
Bawo, Zega, dll.[7]
Keempat putra
Sirao yang lain, mengalami kecelakaan sewaktu proses nidada (turun ke Tano
Niha) sehingga tidak dapat mendarat dengan wajar. Bauwadano Hia (atau disebut
juga Latura Dano) tubuhnya terlalu berat, sehingga terus menembus bumi dan
menjelma menjadi ular besar yang disebut Da’o Zanaya Tano Sisagoro atau Da’o
Zanaya Tano Sebolo, yang berarti Dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul
peperangan dan darahnya merembes ke bumi, ia akan menjadi sangat marah. Ia akan
menggoyang-goyangkan tubuhnya sehingga terjadilah gempa bumi. Untuk
menghentikannya, masyarakat Nias akan berteriak “Biha Tuha! Biha Tuha!”, yang
berarti “Sudah nenek! Sudah nenek!”. Ucapan itu diserukan dengan maksud bahwa
mereka telah sadar dan tidak akan membunuh lagi.
Gozo
Tuhazangarofa tercebur ke dalam sungai karena rantainya putus saat dia
diturunkan ke bumi. Selanjutnya dia menjadi dewa sungai dan dipuja para nelayan
karena dialah penguasa ikan-ikan. Lakindrolai Sitambalina tersangkut di pohon
karena saat diturunkan dia tidak jatuh ke bumi, melainkan melayang-layang
terbawa angin dan akhirnya menjelma menjadi Bela Hogu Geu, yaitu dewa hutan,
yang menjadi pujaan para pemburu. Sibungsu yang bernama Sifuso Kara diturunkan
ke bumi dan jatuh di daerah bebatuan, daerah Laraga sekarang, dan menjadi
leluhur orang-orang yang memiliki kesaktian kebal.[8]
B. Tradisi
Lisan Masyarakat Nias
1. Keyakinan tentang Dewa
Ada
dua dewa yang dipandang penting, yaitu lowalangi, dewa alam atas, sumber segala
yang baik, dan laturedano, dewa alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakkan
aspek-aspek yang negative.
Lowalangi
dipandang sebagai dewa yang terpenting. Ada banyak doa, mantra, sumpah, dan
kutukan yang bersandar pada lowalangi dan kekuasannya. Ia menentukan hidup dan
mati manusia, memberikan berkat dan kutuk, kekayaan dan kemiskinan. Dialah yang
menetapkan dan yang memberhentikan kepala-kepala suku. Ia berada dimana-mana
dan mengetahui segala sesuatu, serta menghukum yang jahat.
Lature
dano menyebabkan adanya penyakit, kematian, gempa bumi, angina ribut, dll. Akan
tetapi semua itu tidak menambah arti di dalam kehidupan religious suku nias.[9]
2.
Keyakinan tentang Mite Penjadian
Mengenai hal ini
terdapat cerita-cerita yang sangat kompleks. Akan tetapi, semua cerita
menceritakan bahwa lowalangi dan laturedano diciptakan, artinya sebelum mereka
sudah ada tokoh dewa yang lebih tinggi.
Bagian pertama
mite, yang dimiliki semua sumber, menyebutkan bahwa pada awal mula yang ada
adalah kekacauan (chaos), kabut dan gelap. Dari kekacauan itulah timbul tokoh
dewa yang pertama. Selanjutnya mite-mte itu berbeda satu sama lain.
1) Mite
dari Nias Utara
Dari kabut dan
kegelapan itu timbullah sebagai tokoh dewa pertama, tuha sihai, yang
digambarkan berdiam di alam yang tidak lebih besar dari sebuah rumah dan
didukung oleh angin. Inilah alam yang pertama aau alam yang paling atas, yang
juga disebut langit yang tertinggi.
Setelah Sihai
meninggal dari napasnya timbullah alolowa nangi yag kemudian juga meninggal.
Dari otaknya dilahirkan pohon-dunia (tora’a). dari bagian pohon atas, tengah
dan bawah tumbuhlah tiga taruk. Dari taruk yang atas lahirlah lowalangi dan
lature dano dan dua roh jahat, nadaoya dan afokha. Dari taruknya yang tengah
lahirlah dua roh baik dan satu roh yang jahat. Dari taruknyayang bawah tidak
ada yang dilahirkan.
Dengan dibantu
oleh roh-roh yang baik, lowalangi dan lature dano bermaksud menciptakan
manusia. Latue dano tidak berhasil menunaikan tugasnya, tetapi lowalangi dapat
menghidupak manusia. Pasangan manusia pertama ini hidup dilangit ketiga.
Sesudah enam angkatan, lahirlah sirao yang hidup dilapisan langit yang
kedelapan, yang berada persis diatas dunia kita ini.
Menurut mite ini
sirao adalah seorang manusia. Sekalipun demikian ia dipandang sebagai pencipta
dunia yang sebenarnya dan sebagai nenek moyang manusia.[10]
2) Mite
dari Nias Selatan
Pada awal mula
belumada bumi dan dunia; yang ada adalah kabut. Kabut ini kemudian memecah
diri, sehingga lahir inada samihara luwo (inada=ibu kita). Ialah yang
menyebabkan adanya penjadian dunia.
Tubuhnya memecah
diri. Lalu lahir ibu-suku dari dewa-dewa dan umat manusia, yaitu inada samadulo
khosi. Ia tidak bersuami. Sekalipun demikian ia melahirkan dua pasang anak
kembar, yaitu laturedano towe dan adik perempuannya, yang kemudian dikawininya,
dan sabolo luwe gogomi dan adik perempuannya yang juga kemudan dikawini. Sabulo
luwe gogomi ini adalah nama lowalangi ketika ia masih muda. Lowalangi memilih
alam atas sebagai tempat kediamannya, sedang laturedano memilih alam bawah.
Lowalangi
menyatakan bahwa ia adalah yang tertua dan terkuasa diantara mereka. Hal itu
menyebabkan kedua saudara ini mengadu kekuatan. Lowalangi melempar bukit-bukit
karang kea lam bawah selama Sembilan hari. Akan tetapi lature dano tidak
menderita apa-apa. Sesudah itu laturedano menggoyang dunia dengan segala
kekuatannya, sehingga rumah kediaman lowalangi runtuh. Demikianlah lowalangi
harus mengakui keunggulan lature dano dan mengakuinya sebagai yang tertua.
Kemudian
lowalangi kawin dengan anak perempuan lature dano sebagai istri kedua. Anak
yang lahir dari perkawinan ini berbentuk bulat tanpa anggota tubuh. Oleh karena
itu anak ini di iris menjadi dua bagian dengan pisau. Bagian pertama dilepar
kesebuah sumber dan bagian yeng kedua dilemparkan ke muara sungai. Bagian yang
jatuh di sumber manjadi seorang peempuan sedang bagian yang jatuh di muara
sungai menjdai seorang lelaki. Keduanya kemudia bertemu dan kawin, serta
menjadi nenek moyang umat manusia.
Hal yang patut
diperhatikan di dalam mite penjadian mite penjadian nias selatan ini ada dua
hal, yaitu penjadian dianggap berpangkal kepada seorang ibu tertua atau
ibu-suku (ibu-asal), dan disini tidak ada gambaran tentang pohon-dunia seperti
halnya mite penjadian nias utara.[11]
Masih ada mite
yang lain mengenai penjadian ini. Suku nias sendiri menganggap diri mereka
berasal dari empat bapak-asal. Nama-nama bapak-asal itu jika disingkat adalah
hia, gozo, hulu, dan daeli. Kadang-kadang disebutkan bahwa ada enam bapak-asal.
Jika demikian ceritanya, hia diganti oleh tiga orang anaknya.
Menurut
ceritanya, penurunan manusia itu terjadi demikian. Pertama-tama hia dengan
segala miliknya diturunkan di nias selatan. Akan tetapi, ternyata pulau nias
(dunia) menjadi berat sebelah sehingga bagian selatan terjungkir kelaut. Untuk
mengadakan keseimbangan, gozo diturunkan dibagian utara. Akibatnya lebih
menyedhkan lagi karena bagian tengahnya berjendul, sedang bagian utara
tenggelam dibawah permukaan laut. Hulu dan daeli kemudian diturunkan kebagian
tengah. Demikianlah bumi menjadi rata.
Empat manusia
yang diturunkan kebumi adalah anak sirao, yaitu tokoh yang berdiam dilapisan
langit kedelapan, yang terletak persis diatas dunia tempat kediaman manusia.
Sirao memiliki tiga orang istri, yang masing-masing meiliki tiga orang anak.
Istri utamanya memiliki tiga orang anak, yang kadang-kadang dipandang sebagai
tiga anak kembar, yaitu ba’uwa dano, lekindro, luwo mewona, sdang anak istri
lainnya ialah lasore, gozo, dan hia serta lahari, daeli, dan hulu.
Ketika anak-anak
itu sudah dewasa, sirao mencari penggantinya. Ia ingin mengundurkan diri
(mati). Semua anaknya menganggap diri mereka cakap untuk menjadi pengganti.
Mereka menimbulkan keributan di desa dan mengadu kepandaian memainkan senjata.
Hal itu menyedihkan sirao. Untuk menentukan siapa yang diperkenankan
menggantikannya, ia mengadakan sayembara. Ia menancapkan sebuah tombak pada
hulu nya di tanah. Barang siapa dapat berdiri dan berjongkok di atas tombak itu
seperti ayam jantan bertengger, dialah yang layak menjadi penggantinya.
Semua anaknya
mencoba. Akan tetapi, hanya luwo mewona-lah yang berhasil. Oleh karena itu,
dialah yang diperkenankan mengganti ayahnya dan tetap tinggal di alam atas.
Nasib anak-anak sirao yang lain ialah ba’uwa dano tinggal di alam bawah ebagai
penopang bumi, sedang hia, gozo, daeli, dan hulu menjadi bapak-asal manusia dan
tinggal di alam tengah. Mite yang lain menceritakan demikian. Ada pertengkaran
antara luwo mewona, ba’uwa dano, dan lekindro. Di dalam pertengkaran itu
lekindro dipotong menjadi dua sebagian dimiliki luwo mewona dan bagian yang
lain oleh ba’uwo dano. Anak sirao yang lain diperintahkan bersin. Ia bersin
begitu kuatnya sehingga kepalanya lepas dari batang tubuhnya. Kepalanya itu
menjadi pohon kelapa sedang darahnya menjadi rumput dan bermacam-macam pohon.[12]
Kesamaan hakikat
dan nasib antara luwo mewona dan luwolangi disatu pihak serta ba’uwo dano dan
lature dano dilain pihak sanga mencolok, sehingga orang harus berpendapat bahwa
kedua tokoh itu adalah sama. Ternyata, di dalam salah satu nyanyian upacara
kematian memang disebutkan bahwa luwo mewona sama dengan lowalangi. Di dalam
kesusastraan nias, keduanya memang sering dipandang identic.
Jika laturedano
(ba’uwa dano) dan lowalangi (luwo mewona) adalah anak-anak sirao dan hasil
ciptannya, maka keduanya tidak mungkin mendahului sirao. Anehnya di dalam salah
satu mite, anak-anak ini sering dipandang mendahului sirao.
Seorang tokoh
penting di dalam alam kedewaan nias adalah silewe nazarata, seorang dewi yang
dihubungkan dengan imamat di nias. Agaknya dewi inilah yang dipandang sebagai
penyebab penjadian dunia sebenarnya.
Diceritakan,
sirao menginginkan agar silewe nazarata kawin dengan luwo mewona (luwolangi).
Akan tetapi silewe nazarata menolaknya. Penolakan ini mengakibatkan adanya
gempa bumi sedemikian hebat sehingga beberapa desa dari alam atas tempat
kediaman sirao yaitu teteholi, jatuh ke bawah. Karena bencana ini, silewe
akhirnya mau kawin dengan lowalangi.
Desa-desa yang
jatuh ke bawah tadi menjadi bumi. Lowalangi dan silewe nazarata kemudian
mengumpulkan kotoran tubuhnya untuk dipakai meluaskan bumi. Dengan daya sihir,
mereka mengubah lingkaran yang mendukung bumi menjadi seekor naga yang besar.
Silewe nazarata
inilah yang memasukkan agama ke dalam dunia ini, artinya dialah yang memasukkan
adat kebiasaan manusia untuk membuat patung dewa guna di sembah. Adapun
ceritanya demikian. Pada suatu waktu manusia di ganggu oleh dewa-dewa dengan
penyakit. Gangguan ni sedemikian rupa sehingga ada bahaya bahwa manusia mati
semua. Sinoi, istri hulu, naik ke atas dan minta pertolongan kepada silewe
nazarata. Silewe mengutus 30 orang anaknya ke bawah dalam wujud bermacam-macam
kayu. Dari kayu itu, orang yang membuat patung-patung, yang akan dimasuki oleh
roh anak-anak silewe. Sinoi diajar secara mendalam tentang segala seluk beluk
imamat dan dijadikan imam yang pertama di bumi. Ia meneruskan ilmu yang dia
miliki kepada orag lain sehingga ada banyak imam.[13]
Silewe nazarata
adalah seorang tokoh yang sangat penting, karena ia dipandag sebagai pengantara
antara lowalangi dan para manusia dan antara lowalangi dan lature dano. Ia juga
dipandang sebagai teladan bagi imam orang nias. Sering disebutkan bahwa tempat
kediaman silewe nazarata adalah di bulan, sekalipun tempat kediamannya yang
resmi adalah di samping lowalangi di alam yang teratas. Karena kediamannya di
bulan itu, ia sering dipandang sebagai dewi bulan.
Silewe nazarata
juga dipandang berada dimana-mana. Ia adalah penolong manusia, dan sering dapat
melakukan hal-hal yang mencelakakan. Oelh karenanya silewe juga sangat
ditakuti. Ia memiliki lambing-lambang dan nama tambahan yang sangat banyak.
Sering ia dihuungkan dengan alam atas dan dengan lowalangi, tetapi juga dengan
alam bawah dan lature dano. Sekalipun ia di pandang sebagai seorang dewi, ia
memiliki juga bentuk-bentuk penampakan yang menunjukkan sifat-sifat laki-laki.
Agaknya sifat ambivalen yang kosmis ini (lambing alam atas dan lambing alam
bawah) disebabkan oleh ambivalensi seksual.
Silewe nazarata
digambarkan sebagai sebuah patung yang besar (lebih dari 2 meter), tanpa tangan
dengan perhiasan kepala yang menunjukkan dengan sebuah sitr, atau sering
sebagai sepasang tanduk, atau dalam bentuk kelamin laki-laki dengan buah dada
perempuan, atau juga dalam bentuk kelamin perempuan yang di beri janggut dan
kumis. Patung yang demikian itu biasanya berkepala dua.
Penempatan
patung semacam itu dan perbuatan-perbuatan kultus yang dihubungkan dengannya
agaknya hanya menjadi wewenang para imam dan para bangsawan. Jika ada bahaya
atau bencana ynag besar yang mengguncang masyarakat, atau jika orang melakukan
kesalahan-kesalahan yang besar, patung semacam itu didirikan.[14]
3. Keyakinan tentang Jiwa
Ungkapan-ungkapan
yang dipakai untuk mengungkapkan pengertian jiwa adalah noso dan bekhu. Noso
dipandang datang dari dewa lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakan
dewa itu. Sesudah yang memiliki noso itu mati, noso kembali kepada lowalangi.
Hakikat noso sering diuraikan sebagai napas, hidup, atau asa yang di alaminya.
Bekhu tampil
jika orang sudah mati. Ia pergi kea lam orang mati. Dalam praktik nya, bekhu
sama dengan bentuk eksistensi yang baru dari orang yang mati itu. Dengan
demikian, keyakinan suku nias mengenai jiwa memiliki kesamaan dengan suku ngaju
dan batak.[15]
4. Keyakinan tentang Kekuatan Ghaib
Suku nias
mengenal adanya eheha. Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang
dapat diwariskan dari ayah kepada anak lelakinya. Sebenarnya eheha ini hanya
berartibagi para pemimpin, itu pun laki-laki. Pada orang-orang yang tidak
penting, tidak pernah terucap adanya eheha.
Jika oang
penting yang memiliki eheha itu mati, anak laki-lakinya meletakkan mulutnya
pada mulut sang wafat untuk menerima eheha nya, yang tampak seperti buih pada
mulut sang wafat itu. Eheha menjadikan orang yang memilkinya bijaksana, cakap,
berpengaruh, dsb.
Anehnya di nias
selatan tidak ada pengertian mengenai eheha ini. Eheha sangat erat berhubungan
dengan jiwa hidup atau noso. Dalam banyak segi, keduanya sering disamakan.
Agaknya eheha harus dipandang sebagai suatu kualitas atau suatu potensi yang
lar biasa dari noso, yaitu kekuatan noso yang paling dinamis dan paling jelas
dapat dihayati.
Seperti yang
sudah dikemukakan, eheha hanya tampak pada orang-orang yang tinggi mertabatnya,
umpamanya para kepala desa atau suku, para imam dan para bangsawan. Eheha dapat
tampak dalam hal-hal yang luar biasa, umpamanya kedaulatan, kehormatan, dsb.
Akan tetapi eheha juga dapat tampak dalam hal-hal yang negative, umpamanya
untuk mencelakakan orang lain dan sebagainya.[16]
C. Upacara
Keagamaan
Terdapat dua kelompok upacara keagamaan yang dilakukan
oleh masyarakat suku Nias. Upacara ini mennjukkan betapa eratnya hubungan
antara suku Nias dengan kebudayaan megalithikum, yaitu kebudayaan yang berciri
pendirian bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu. Kedua upacara
tersebut adalah: pesta jasa atau pesta kedudukan (owasa) dan pesta suku (boro
nadu).
1.
Pesta
Jasa (Owasa)
Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh
kehormatan, nama, kedudukan, dan gelar. Jika pesta ini diselenggarakan oleh
kaum bangsawan, pada kesempatan ini diadakan juga korban manusia dan pendirian
suatu monumen megalitikum. Oleh karena itu, pesta-pesta ini diselenggarakan di
luar desa. Jika pesta ini diselnggarakan oleh rakyat biasa, segala sesuatu
dilakukan secara sederhana dan hanya diselenggarakanbagi masyarakat desa itu
sendiri, tanpa mengundang tamu dari luar. Baik bagi kaum bangsawan maupun bagi
rakyat jelata berlaku aturan, bahwa orang boleh mengadakan owasa segera setelah
ia kawin. Segera setelah kawin, ia harus berusaha untuk mengumpulkan emas dan
babi yang cukup untuk menyelenggarakan owasa yang pertama.
Di nias selatan ada kebiasaan untuk mulai
menyelenggarakan owasa tingkat pertama dengan membuat anting-anting emas bagi
istri. Dari kebiasaan ini jelaslah bahwa owasa dimaksud sebagai pemeberitahuan
kepada umu tentang status atau kedudukan sosial dan pangkat yang baru, yang
sudah dicapai oleh suami-istri itu dengana danya anting-anting emas tadi.
Tingakatan owasa kedua sudah barang tentu menuntu
adanya perhiasan yang lebh berharga yang disesuaikan dengan gelar dan pangkat
yang sudah dicapaipasangan tersebut. Salah satu hal yang dianggap sangat
berharga adalah sebuah payung emas, yaitu payung sutra yang disulami dengan
bunga-bungan emas. Bagi rakyat biasa terdapat lima tingkat pangkat atau
kedudukan, sedang bagi kaum bangsawan terdapat 20 tingkatan atau lebih. Jika
seorang bangsawan ingin mencapai tingkat tertinggi, ia harus mendirikan sebuah
monumen megalit dan harus memenuhi syarat-syarat lain. Jika seorang bangsawan
sangat kaya, ia diperkenankan menyelenggarakan lima tingkat, dari owasa
sekaligus.[17]
Yang termasuk tuntutan owasa diantaranya adalah
memamerkan kekayaan dalam bentuk barang-barang yang terbuat dari emas dan
menghamburkan kekayaan miliknya dalam bentuk babi yang disembelih pada pesta
ini dimakan. Kebanyakan daging babi itu ditempatkan di dalam keranjang yang
digantungkan di halaman diantara kedua barisan rumah yang saling berhadapan dan
biasanya daging itu dijatuhkan oleh anak-anak sehingga daging itu membusuk
ditanah serta menjadikan tanah sangat licin. Selama upacara itu berlangsung,
diadakan makan-minum, secara berlebihan. Bagi orang yang menyelenggarakan,
owasa itu merupakan suatu gengsi untuk memberi sebanyak mungkin babi. Dalam
tahap pertama biasanya sudah cukup dengan memberi 10 ekor babi, tetapi
kadang-kadang sampai 50, 100, 300, dan 500 ekor atau lebih. Pendirian monumen
batu megalit biasanya dilakukan pada berbagai macam kesempatan dalam kehidupan
religi suku itu.[18]
Pendirian
monument batu megalit biasanya dilaksanakan pada bermacam-macam kesempatan
dalam hidup religi suku itu. Banyak monument mengalit yang sering dihiasi dengan
gambar-gambar.
Pada waktu
owasa, ada 3 macam monument batu besar yang penting, yaitu:
1. Sebuah
monolit (suatu batu) seperti menhir yang didirikan tegak, yang disebut jantan.
2. Sebuah
batu seperti dolmenyang mendatar, yang kebanyakan diberi kaki tiang-tiangnya
kecil dan didirikan bagi kaum perempuan.
3. Suatu
kombinasi dari kedua monumes tersebut diatas, yaitu sebuah batu mendatar yang
diberi sebuah lubang yang dapat di masuki sebuah batu monolit yang tegak. Hal
itu dimaksud sebagai gambaran perkawinan, suatu penjelmaan dari kesatuan yang
hakiki dari aspek laki-laki dan perempuan, yaitu totalitas manusia.
Monument yang
demikian itu diletakkan pada pedati yang menggambarkan perahu dan diangkut
ketempat monument itu akan didirikan. Orang yang menyelenggarakan pesta duduk
diatas batu monument itu sambil meloncat kian kemari dengan memainkan pedang
dan menancapkan benda atau layar di kanan kiri.[19]
Suatu monument
lan yang patut diperhatikan adalah monument yang disebut saitambaru, yaitu
suatu tiang bulat yang diberi beberapa pengait sebagai pengait beberapa
pakaian. Hal ini diterangkan demikian barang siapa yang membuat perhiasan dari
emas harus takut terhadap kutukan logam itu. Sebuah emas memiliki tabiat
pembalasan, kelobaan, dan pembunuhan. Untuk menghindarkan diri dari hukuman
emas itu, harus ada budak yang dikorbankan. Budak itu dibawa ketempat
saitambaru didirikan. Kemudian budak itu diperintahkan untuk mengaitkan baju
kutang emas, teropong emas, pedang emas, dan paying emas pada saitambaru itu.
Jika hal itu sudah dilakukan, budak di penggal kepalanya. Kepalanya disentuhkan
pada batu itu, lalu diletakkan diatasnya. Korban manusia ini mengingatkan kita
pada pengayauan.
Monument batu
tadi dihiasi dengan daun-daun kelapa yang menggambarkan sebuah pohon dengan
perhiasan emas, yaitu pohon hidup. Tiang batu juga dipandang sebagai tiang
korban yang menggambarkan pohon hidup.
Upacara owasa
ini dengan jelas menunjukan bahwa begitu erat hubungan antara aspek-aspek
religious, social kerumah tanggaan dan kesenian dari kebudayaan nias. Hubungan
itu demikian erat sehingga mewujudkan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Juga tidak dapat
disangkal bahwa pesta itu menampakkan aspek-aspek peperangan, yang
memperhadapkan antara orang yang menyelenggarakan pesta dan para tamunya, sedangkan
emas dan babi menggambarkan senjatanya. Peperangan ini masih sering diteguhkan
dengan adanya peperangan semua. Dua kelompok yang antagonis, yaitu
penyelenggara pesta dan tamunya, dihubungkan dengan dualism religious kosmis.
Dengan bermaca-macam cara tampak hubungan antara para dewa dan penjadian serta
perwakilannya di dalam pohon hidup.[20]
2. Pesta Boronadu
Pesta ini adalah
puncak hidup kultus suku nias, sebab secara langsung pesta ini dihubungkan
dengan penciptaan dan terjadinya suku nias.
Pesta ini
diselenggarakan di tem,pat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang
dahulu turun dari alam atas dan sekaligus juga dipandang sebagai tempat
kediaman pertama nenek moyang masing-masing kelompok.
Kata boro
berarti suku, dasar, atau sebab. Jadi kata boronadu berarti permulaan perbuatan suci, asal atau
sumber tertua penyucian. Selain itu, boronadu adalah sebutan imam suku yang
tertinggi, yang senantiasa berdiaman ditempat nenek moyang suku turun dari alam
atas dan menyelenggarakan pesta boronadu.
Di nias selatan,
suku memiliki 2 macam boronadu, yang satu untuk memuja nenek moyang yang
bersifat laki-laki, sedang yang lain untuk memuja dewa nenek moyang yang
bersifat perempuan. Keduanya memelihara sebatang pohon suci yang disebut fosi.
Boronadu tergolong
kaum bangsawan. Mereka menggambarkan bangsawan tertua dan tertinggi. Mereka
tidak perlu brperang. Oleh karenanya mereka tidak bersenjata. Akan tetapi jika
ada salah seorang anggota keluarga boronadu terbunuh, semua rakyatnya harus
mengumpulkan emas guna menebus pembunuhan itu.
Ditempat
kediaman boronadu, yaoitu ditempat dahulu nenek moyang suku turun dari alam
atas, didirikan sebuah kuil kecil dan beberapa objek kultus, atau didirikan
sebuah patung nenek moyang sebagai peringatan bagi nenek moyang mereka.
Akan tetapi yang
lebih penting dari semua itu, agaknya adalah sebuah pohon suci yang disebut
fosi tadi. Menurut keyakinan mereka, pohon ini ditanam oleh dewa bagi
keselamatan manusia. Dengan sendirinya kita diangkatkan pada pohon-pohon hidup.
Jika konon daun-daun itu rontok, bala penyakit akan berjangkit. Jika karena
nagin ribut ada tangkai-tangkai pohon itu yang jatuh, hal itu menjadi alamat
bahwa ada seseorang kepala suku besar yang akan mati, atau ada sebuah desa akan
terbakar, atau ada bencana hebat lainnya. Jika pohon ini mati, seluruh umat
manusia akan mati.
Jarak pesta boronadu
yang satu dengan yang lain adalah tujuh, sepuluh, atau empat belas tahun.
Peserta pesta ini adalah kelompok-kelompok atau cabang-cabang suku yang
diturunkan dari suku tertua. Cabang suku yang demiian disebut ori, sebuah kata
yang berarti lingkaran (gelang). Susunan dan fungsi ori sukar ditentukan. Yang
termasuk ori adalah sekelompok (lingkaran) desa tetangga yang saling berhbungan
karena perkawinan (terlebih-lebih bagi kaum bangsawan), dan yang mewujudkan
suatu persekutuan kultus (umpamanya, owasa senantiasa dirayakan didalam
batas-batas ori). Selain itu, ori juga merupakan suatu kesatuan territorial
yang harus memenuhi tugas-tiugas kultus. Secara politis, masing-masing desa itu
merdeka (dari empat atau enam suku yang tertua dapat ditimbul kira-kira 300
ori).[21]
Jalannya pesta
boronadu adalah sebagai berikut. Berbondong-bondong orang mengunjungi pesta ini
dengan pakaian yang indah. Akan tetapi pada pesta ini tidak dibagikan makanan.
Segala permusuhan saat ini harus dihentikan.
Sebelum pesta
dimulai, orang membuat patung manusia dan harimau yang pada hari pesta itu di
arak ke tempat pesta dengan nyanyian dan tarian. Boronadu mengadakan koran
sebagai penghormatannya. Sesudah itu, patung-patung tadi dilemparkan ke lembah
yang ada airnya sebagai uang tebusan bagi jiwa manusia.
Sementara itu,
orang melepaskan seekor babi di bawah pohon fosi. Sebelum dilepaskan, babi itu
diberi makan nasi dan telur. Ini adalah pemberian makanan yang terakhir.
Sesudah itu tidak seorang pun boleh memberi amkan pada babi itu. Juga babi itu
juga tidak boleh di usir seandainya mencari makanan sendiri di halaman orang.
Sesudah tujuh tahun lamanya babi itu berkeliaran, babi itu ditangkap oleh
boronadu dan disembelih. Dagingnya di bagi-bagikan sedemikian rupa sehingga
setiap desa yang dibawah pengawasan boronadu itu mendapat bagian. Kepala desa
membagi bagian yang jatuh kepada desanya dan kepada para keluarga di desanya,
sedangkan tiap keluarga membagikan bagiannya kepada tiap anggota keluarga untuk
dimakan agar mereka dapat berkembang dengan sejahtera. Bagian-bagian daging itu
biasanya menjadi sangat kecil, hampir sama dengan biji kacang atau lebih kecil
lagi. Yang penting disini adalah khasiatnya.
Sebagai balasan,
masing-masing keluarga mempersembahkan sebutir emas kepada boronadu. Pada
perayaan berikutnya dilepaskan lagi seekor babi, demikian seterusnya.
Semua tindakan
dalam pesta ini dihubungkan dengan kejadian-kejadian dalam mite penjadian.
Tujuan pesta ini adalah mengungkapkan kematian, perusakan kosmos, dan kelahiran
kembali serta pembaharuannya.[22]
Kematian
diungkapkan dengan pengorbanan babi suci, sebab hal itu menggambarkan
pembunuhan seluruh umat manusia. Perusakan kosmos diungkapkan dengan pelemparan
patung ke dalam lembah sungai, yang menggambarkan alam atas dan alam bawah.
Pada hari sebelum pesta dimulai, di adakan tari-tarian dan peperangan semu,
yang jelas dihubungkan dengan dualism yang religious-mistis. Akhirnya kelahiran
kembali dan pembaharuan di ungkapnkan dengan pelepasan babi suci, yang setiap
kali dilepaskan hingga pesta berikutnya.
Mungkin arti
pesta boronadu ini dapat dirangkum seperti berikut ini. Orang merasa perlu
untuk menyatakan kepada tokoh dewa yang tertinggi, bahwa mereka merasa dan
menghayati, bahwa dunia ini ada hubungannya dengan alam atas, bahwa kekuatan
hidupnya datang dari atas, dan bahwa mereka akan kembali kesana, dan akhirnya
bahwa mereka sangat girang diperkenankan hidup di bawah hukum-hukum hidup ini.
D. Tradisi
Masyarakat Nias
1. Struktur
Masyarakat
Pada
umumnya masyarakat Nias memahami perbedaan antara kasta bangsawan (Si Ulu;
Salawa) dan kasta masyarakat biasa (Sato). Ada juga yang melihat struktur
masyarakat dalam tiga kasta, yaitu: bangsawan, masyarakat biasa, dan budak
(Sawuyung; Harakana). Dan ada juga yang meliohat struktur masyarakat ke dalam
empat kasta, yaitu: bangsawan, penasehat (Si Ila), masyarakat biasa, dan budak.
Di Nias selatan sistem kasta sangat dipegang erat.[23]
2. Perkawinan
di Nias
Di Nias Selatan,
seoarang si ulu tidak boleh menikahi sato karena akan kehilangan statusnya.
Kejadian seperti ini biasa disebut dengan no moi ba zato yang berarti sudah
menjadi rakyat biasa. Ada juga yang mengatakan bahwa ketidakbolehan ini
karena si ulu adalah bagaikan seorang bapak (ama) dan ibu (ina) bagi
masyarakat, sedangkan sato adalah seorang anak. Tidak mungkin orang tua
menikahi anaknya. Beda halnya pada zaman dahulu, seorang si ulu yang sudah
kawin dengan lawan jenis yang berkastasama, boleh mempunyai istri lain dari
kalangan sato untuk mengurusi rumah. Seorang si ulu juga boleh mengambil istri
satu atau lebih dari kalangan sato apabila hendak mengambil hati masyarakat.[24]
3. Lani;
Langi
Tradisi lisan Nias banyak bercerita
tentang langit (lani atau langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si
sara wenaita), tentang langit berlapis sembilan (lani si si wa wenaita), dan
seseorang leluhur bernama Lani Sigoro (Satu Langit) atau Lani Sisagoro (langit
yang satu ini). Tradisi Nias Selatan mengatakan bahwa nama sebenarnya bukanlah
Lowalani, melainkan Lawalani, yang berarti (yang ada) di atas langit. Sampai
saat ini, tradisi Nias Selatan masih menyebut lawa (atas) dan tidak seperti di
Nias Utara yang menyebut ya wa.[25]
4. Adu
Pertama di Nias
Patung yang terbuat dari kayu, di
Nias, pada umumnya disebut dengan Adu. Patung yang paling banyak adalah patung
untuk mengenang orang tua yang telah meninggal, yang disebut dengan adu zatua
(patung orang tua). Diceritakan, patung pertama di Boronadu terbuat dari besi,
yang hilang dan digantikan dengan kayu. Mite tertua mengatakan bahwa ibu Silewe
Nazareta di Boronadu membuat (iwowoi) dan menghidupkan (ifonoso) patung pertama
dari kayu. Versi lain mengatakan bahwa Hia Walangi Adu adalah yang memulai
dengan mengukir batu.[26]
5. Penghormatan
Penghormatan sangat diperhatikan di
Nias. Ajaran penghormatan mengatakan tentang adanya tiga lowalangi yang
berbeda, yaitu: orang tua, paman (saudara ibu), dan yang di atas langit. Pesan
(orisito) ayah sebelum meninggal merupakan perintah dan kewajiban bagi
anak-anaknya. Si ulu selalu dipandang ayah dalam suatu desa.[27]
6. Peti
mayat
Di Nias Utara, mayat dikuburkan. Di
Nias Selatan, mayat digantung pada pohon dan diikat dengan anyaman tua. Atau
dengan memakai suatu tempat duduk sederhana yang terbuat dari bambu (sarambia).
Mayat digantung pada salah satu cabang pohon dengan gaya duduk lalu dibiarkan
seperti itu. Atau mereka mempersiapkan rak bambu atau kayu bulat dengan tinggi
sekitar dua meter di hutan, lalu mayat dibaringkan diatasnya (lahare yawa).[28]
Wallahu a’lam bish-Shawab...
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Harmmerle, Johannas Maria. Asal-Usul
Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pustaka Nias,
2001.
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015.
[1] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi suku bangsa di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 57.
[2] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia..... h. 58.
[3]Johannas Maria Harmmerle,
Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan
Pustaka Nias, 2001), h. 31-34.
[4] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 35-37.
[5] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 42-43.
[6] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 43-46.
[7] Johannas Maria Harmmerle,
Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 73-74.
[8] Johannas Maria Harmmerle,
Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 75-76.
[9] Harun
Hadiwijono, Religi Suku Murba,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 37.
[10]Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba..... h. 37.
[11]Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba..... h. 38.
[12]Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba..... h. 39-40.
[13]Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba..... h. 40-41.
[14]Harun Hadiwijono,
Religi Suku Murba..... h. 41-42.
[15]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 43.
[16]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 43-44.
[17]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 45-46.
[18]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 47.
[19]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 47-48.
[20]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 48-49.
[21]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 49-50.
[22]Harun Hadiwijono, Religi
Suku Murba..... h. 50-51.
[24] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h.
194-195.
[25] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h.
201-202.
[26] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h. 202.
[27] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h.
202-203.
[28] Johannas Maria
Harmmerle, Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi..... h.
203-204.